HUBUNGAN
POLA ASUH ORANG TUA DENGAN HARGA DIRI PADA REMAJA DI SMP
NEGERI 12 BANJARMASIN TAHUN 2014
PROPOSAL
OLEH
MEIDA LESTARI HADI
NPM. 010041 AS1
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
MUHAMMADIYAH BANJARMASIN
PROGRAM STUDI S-1 KEPERAWATAN
BANJARMASIN, 2014
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Pada fase perkembangan manusia, masa remaja merupakan pusat perhatian.
Hal ini disebabkan karena masa remaja merupakan masa transisi dari masa kanak-kanak
ke masa dewasa (Sofyan & Willis, 2005). Remaja adalah manusia yang sedang
berada pada satu periode kehidupan puber tepatnya ketika seseorang berada pada
masa transisi antara masa kanak-kanak dan masa pemulaan dewasa (Santrock, 2002). Menurut World Health Organization
(WHO, dalam sarwono, 2002) mendefinisikan remaja lebih bersifat konseptual
dengan tiga kriteria, yaitu biologis, psikologik, dan sosial ekonomi, dengan
batasan usia antara 10-20 tahun.
Hendrianti (2009) secara umum membagi
masa remaja menjadi tiga bagian, yaitu masa remaja awal, masa remaja
pertengahan, dan masa remaja akhir. Masa remaja awal (usia 12-15 tahun) pada
masa ini individu mulai meninggalkan peran sebagai anak-anak. Masa remaja
pertengahan (usia 15-19 tahun) masa ini ditandai dengan berkembangnya kemampuan
berfikir yang baru. Pada masa ini teman sebaya masih berperan penting namun
individu sudah lebih mampu mengarahkan diri sendiri (self directed). Masa remaja akhir (usia 19-22 tahun) masa ini
ditandai oleh persiapan akhir untuk memasuki peran-peran orang dewasa.
Menurut Lerner dan Hultsch (1983,
dalam Hendrianti, 2009 : 30) mengatakan terjadi proses perubahan dan interaksi
antara beberapa aspek yang berubah selama masa remaja. Pertama, perubahan fisik, adalah perubahan biologis dan fsiologis yang berlangsung pada masa
pubertas atau pada masa awal remaja, yaitu sekitar umur 11-15 tahun pada wanita
dan 12-16 tahun pada pria. Kedua,
perubahan emosional, yaitu akibat langsung dari perubahan fisik dan hormonal.
Ketiga, perubahan kognitif, perubahan dalam kemampuan berfikir. Keempat, implikasi
psikososial, adalah semua perubahan yang terjadi dalam kurun waktu yang singkat itu membawa
akibat bahwa fokus utama dari perhatian remaja adalah dirinya sendiri. Perhatian remaja terhadap dirinya sendiri ini
berkaitan dengan konsep diri.
Konsep diri menurut
Hurlock (1979, dalam Ghufron & Rini, 2011 : 13) merupakan gambaran diri seseorang mengenai diri sendiri yang
merupakan gabungan dari keyakinan fisik, psikologis, sosial, emosional aspiratif,
dan prestasi yang mereka capai. Konsep diri merupakan cara individu memandang
dirinya secara utuh, menyangkut fisik, emosi, intelektual, sosial dan spiritual
(Sunaryo, 2013 : 32). Konsep diri terdiri dari
lima komponen, meliputi gambaran diri (body image), ideal diri (self ideal), harga diri (self esteem), peran diri (self role), identitas diri (self
identity). Menurut
Ghufron dan Rini (2011 : 39) harga diri adalah tingkat penilaian yang positif atau
negatif yang dihubungkan dengan konsep diri seseorang. Harga diri merupakan
evaluasi seseorang terhadap dirinya sendiri secara positif dan juga sebaliknya dapat
menghargai secara negatif. Adam dan Radford (dalam Zulfan & Sri, 2012) mengatakan apabila seseorang memiliki taraf harga diri tinggi, maka ia dapat menyusun
konsep diri yang positif yang berkaitan dengan aktualisasi diri dan begitupun sebaliknya dengan seseorang yang
memiliki taraf harga diri rendah.
Menurut Carpenito (2007) harga diri rendah
adalah keadaan dimana individu mengalami atau berisiko mengalami evaluasi diri negatif tentang kemampuan diri. Ciri-ciri
harga diri rendah menurut Zulfan dan Sri (2012) yaitu perasaan malu terhadap diri sendiri akibat penyakit atau tindakan, rasa bersalah terhadap
diri sendiri, menyalahkan, mengkritik dan mengejek diri sendiri, merendahkan martabat, gangguan hubungan
sosial, percaya
diri kurang, sukar mengambil keputusan, mencederai diri, mudah marah, mudah tersinggung, apatis, bosan, jenuh dan
putus asa, kegagalan
menjalankan peran, dan proyeksi (menyalahkan orang lain).
Faktor yang mempengaruhi harga diri adalah jenis kelamin, intelegensi, kondisi
fisik, lingkungan sosial, dan lingkungan keluarga (Zulfan
& Sri, 2012). Orang tua yang
berperan sebagai keluarga memiliki peranan yang sangat menentukan perkembangan
harga diri remaja.
Orang tua menurut Ghufron dan Rini (2011 : 40) adalah sebagai pengasuh
dan pembimbing dalam keluarga yang berperan dalam meletakan dasar-dasar
perilaku bagi anaknya. Dalam mengasuh anak-anaknya orang tua cenderung
menggunakan pola asuh tertentu. Menurut kamus besar Bahasa Indonesia (2011)
pola asuh terdiri dari dua kata, yaitu pola dan asuh. Pola berarti cocok,
model, sistem, cara kerja, bentuk (struktur) yang tetap. Sedangkan kata asuh
adalah menjaga (merawat dan mendidik), anak kecil, membimbing, dan memimpin
satu badan atau lembaga. Pola asuh orang tua menurut Nurcahyani (2013) diidentifikasikan melalui adanya perhatian orang tua dalam
mengasuh dan menjalin hubungan interpersonal dengan anak yang didasari dengan
adanya perhatian, penghargaan, dan kasih sayang. Setiap orang tua
bertanggung jawab juga memikirkan dan mengusahakan agar senantiasa terciptakan
dan terpelihara suatu hubungan antara orang tua dengan anak.
Boumrind (dalam
Santrock, 2002) menekankan tiga tipe pola asuh yang dikaitkan dalam aspek-aspek
yang berbeda dalam perilaku sosial anak. Pola asuh otoriter
adalah
suatu gaya pengasuhan membatasi dan menghukum yang menuntut anak untuk
mengikuti perintah-perintah orang tua. Pola asuh otor otoritatif (demokratif) adalah gaya pengasuhan
yang mendorong anak-anak agar mandiri tetapi masih menetapkan batas-batas dan
pengendalian atas tindakan-tindakan anak. Dan pola asuh laissez-faire (permisif) adalah gaya pengasuhan pembiaran. Ketiga pola asuh ini memberikan
sumbangan dalam mewarnai perkembangan terhadap harga diri anak terlebih lagi
pada remaja.
Sekolah Menengah Pertama Negeri 12 Banjarmasin
adalah sekolah yang berada di kota Banjarmasin provinsi Kalimantan Selatan. Terletak
di Jl Ir PM Noor RT 008, Pelambuan, Banjarmasin Barat Kota Banjarmasin. Sekolah ini berada di dalam sebuah gang kecil
yang cukup
padat akan penduduk. Hasil studi pendahuluan yang dilakukan pada tangal 4 Desember
2013 melalui observasi dan wawancara pada 10 siswa, 5 orang mengatakan orang
tuanya mempunyai sikap yang keras, suka memberi perintah, dan suka memberi
hukuman. Kelima siswa ini sering mengatakan dia bodoh, dia tidak bisa, dia
tidak tahu”. 3 orang siswa mengatakan orang tuanya baik, perhatian dan
bermusyawarah. Ketiga siswa ini mengatakan dia cukup percaya diri terhadap
dirinya, dia senang dengan dirinya. 2 orang siswa lainnya
mengatakan orang tuanya sangat sibuk, akan tetapi memberikan semua kemauannya. 1
dari 2 orang siswa tersebut mengatakan mudah tersinggung saat temannya mengejeknya. Sedangkan 1 orang siswa lagi
mengatakan dia sangat percaya terhadap apapun.
Menurut Sunaryo (2013 : 35) harga diri rendah dapat diatasi dengan memberi
kesempatan remaja untuk berhasil, memberi pengakuan dan pujian terhadap apa
yang dikerjakannya. Tidak memberi tugas yang tidak dapat diselesaikan, serta tidak
memberi hukuman pada remaja. Menanamkan gagasan yang dapat memotivasi
kreatifitas anak untuk berkembang, mendukung aspirasi yang positif atau
cita-cita remaja sehingga mereka memandang dirinya bermakna. Serta, menanggapi
pertanyaan dan tanggapan anak dengan memberi penjelasan yang sesuai.
Berdasakan latar
belakang di atas maka peneliti tertarik untuk meneliti “Hubungan pola asuh orang tua dengan
harga diri pada remaja di Sekolah Menengah Pertama Negeri 12 Banjarmasin”.
1.2 Rumusan
Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan, maka suatu rumusan
masalah dalam penelitian ini adalah “apakah ada hubungan pola asuh orang tua dengan harga diri pada remaja di SMP Negeri 12
Banjarmasin tahun 2014?”
1.3 Tujuan
Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan pola asuh orang tua dengan harga diri remaja di SMP Negeri 12 Banjarmasin
tahun 2014.
1.3.2 Tujuan Khusus
Tujuan
khusus penelitian ini meliputi :
1.3.2.1 Mengidentifikasi
pola asuh orang tua pada remaja di SMP Negeri 12 Banjarmasin tahun 2014.
1.3.2.2 Mengidentifikasi harga diri remaja di SMP
Negeri 12 Banjarmasin tahun 2014.
1.3.2.3 Menganalisis hubungan pola asuh orang
tua terhadap harga diri pada remaja di SMP
Negeri 12 Banjarmasin tahun 2014.
1.4 Manfaat
Penelitian
1.4.1 Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini untuk memberikan informasi dalam perkembangan teori
tentang hubungan pola asuh orang tua dengan harga diri remaja, serta dapat
digunakan sebagai acuan untuk penelitian selanjutnya.
1.4.2 Manfaat Praktis
1.4.2.1 Bagi Remaja
Hasil dari penelitian ini dapat memberikan suatu wawasan agar remaja
bersikap positif untuk kedepannya terhadap dirinya.
1.4.2.2 Bagi Keluarga
Hasil penelitian ini dapat menambah pengetahuan betapa pentingnya
pengaruh orang tua pada anak.
1.4.2.3 Bagi Institusi Pendidikan
Hasil penelitian ini dapat memberikan informasi kepada institusi
pendidikan terutama sekolah menengah mengenai hubungan pola asuh orang
tua dengan harga diri pada remaja, sehingga dapat dijadikan landasan dalam
membentuk karakter anak.
1.4.2.4 Bagi Profesi Keperawatan
Hasil penelitian
ini diharapkan dapat menjadi masukan sebagai bahan tinjauan keilmuan dalam bidang
manajemen keperawatan anak dan
keperawatan jiwa.
1.5 Penelitian
Terkait
Hasil penelusuran penulis, penelitian mengenai “Hubungan Pola Asuh Orang
Tua Dengan Harga Diri Pada Remaja Di SMP
Negeri 12 Banjarmasin Tahun 2014” belum pernah diteliti sebelumnya. Adapun
beberapa penelitian yang pernah diteliti antara lain :
1.5.1 Penelitian yang dilakukan oleh Lina
(2008) dengan judul “Hubungan Pola Asuh Demokratis Orang Tua Dan Kemandirian
Dengan Kemampuan Menyelesaikan Masalah Pada Remaja”. Hasil dari penelitian ini adalah adanya hubungan
pola asuh demokratis orang tua dan kemandirian dengan kemampuan menyelesaikan
masalah pada remaja.
1.5.2 Penelitian yang dilakukan oleh S. Fuad
Baiquni (2012) dengan judul “Hubungan Pola Asuh Otoriter Orang Tua Dengan
Kepribadian Introvert Pada Anak Di TK Tunas Harapan Kecamatan Karang Bintang
Kabupaten Tanah Bumbu”. Hasil dari penelitian ini adalah adanya hubungan
antarvariabel, yaitu adanya hubungan antara pola asuh otoriter orang tua dengan
kepribadian introvert.
1.5.3 Penelitian yang dilakukan oleh Ahdiya
(2013) dengan judul “Hubungan Antara Pola Asuh Orang Tua Dengan Kemandirian
Anak Usia Pra Sekolah Di TK Islam Madinaturramlah Banjarmasin”. Hasil
penelitian ini adalah adanya hubungan antarvariabel yaitu adanya hubungan
antara pola asuh orang tua dengan kemandirian anak usia pra sekolah.
BAB 2
TINJAUAN
PUSTAKA
2.1 Konsep
Dasar Remaja
2.1.1 Definisi Remaja
Remaja adalah manusia yang sedang berada pada satu periode kehidupan
puber tepatnya ketika seseorang berada pada masa transisi antara masa
kanak-kanak dan masa pemulaan dewasa (Santrock, 2002). Papilia (dalam Sarwono, 2007) remaja adalah pada saat
perkembangan transisi dari masa anak-anak menuju masa dewasa dengan perubahan
fisik, kognitif, dan psikososial. Menurut Desiani (2008) masa remaja adalah suatu
peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa. Pada masa ini remaja merasakan
adanya perubahan yang terjadi pada dirinya seperti perubahan fisik yang hampir
menyerupai orang dewasa atau yang biasa disebut masa puber, perubahan sikap,
perasaan atau emosi yang sering tanpa disadari oleh remaja itu sendiri seperti
rasa malu, gembira, iri hati, sedih, takut, cemas, cemburu, kasih sayang dan
rasa ingin tahu.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa masa remaja adalah
masa peralihan dari anak-anak menuju dewasa yang ditandai dengan berbagai
perubahan baik dari segi fisik, kognitif, dan psikososial.
2.1.2 Ciri-ciri Remaja
Knopka (1973, dalam Hendrianti, 2009) secara umum
membagi masa remaja berdasarkan
ciri usia, yaitu :
2.1.2.1
Masa remaja awal (usia 12-15 tahun)
Pada masa ini
individu mulai meninggalkan peran sebagai anak-anak dan berusaha mengembangkan
diri sebagai individu yang unik dan tidak tergantung pada orang tua. Fokus dari tahap ini adalah
penerimaan terhadap bentuk dan kondisi fisik serta adanya konformitas pada
teman sebaya.
2.1.2.2
Masa remaja pertengahan (usia 15-19 tahun)
Masa ini ditandai
dengan berkembangnya kemampuan berfikir yang baru. Pada masa ini teman sebaya
masih berperan penting namun individu sudah lebih mampu mengarahkan diri
sendiri (self directed). Remaja juga mulai
mengembangkan kematangan tingkah laku, belajar mengendalikan impulsitivitas,
dan membuat keputusan-keputusan awal yang berkaitan dengan sekolah dan
pekerjaan yang kelak ingin dia capai. Selain itu penerimaan dari lawan jenis
menjadi penting bagi individu.
2.1.2.3 Masa remaja akhir (usia 19-22 tahun)
Masa ini ditandai
oleh persiapan akhir untuk memasuki peran-peran orang dewasa. Remaja pada masa
ini memiliki keinginan yang kuat untuk diterima dalam kelompok teman sebaya dan
orang dewasa. Pada tahap ini remaja menjadi lebih matang.
2.1.3 Proses Perubahan Pada Masa Remaja
Proses
perubahan pada masa remaja menurut Lerner dan Hultsch (1983,
dalam Hendrianti, 2009 : 30) meliputi :
2.1.3.1 Perubahan fisik
Rangkaian
perubahan yang paling jelas yang Nampak dialami oleh remaja adalah perubahan
biologis dan fsiologis yang berlangsung pada masa pubertas atau pada masa awal
remaja, yaitu sekitar umur 11-15tahun pada wanita dan 12-16 tahun pada pria
tahun pada pria (Hurlock, 1973 : 20-21). Hormone-hormon baru diproduksi oleh
kelenjar endokrin, dan ini membawa perubahan dalam cirri-ciri seks sekunder.
Gejala ini memberikan isyarat bahwa fungsi reproduksi atau kemampuan untuk
menghasilkan keturunan sudah mulai bekerja. Seiring dengan itu, berlangsung
pula pertumbuhan yang pesat pada tubuh dan anggota-anggota tubuh untuk mencapai
proporsi seperti orang dewasa. Seorang individu yang mulai terlihat berbeda dan
sebagai konsekuensi dari hormone yang baru, dia sendiri mulai merasa adanya
perbedaan.
2.1.3.2
Perubahan Emosional
Hormonal
menyebabkan perubahan seksual dan menimbulkan dorongan-dorongan udan
perasaan-perasaan yang baru. Keseimbangan hormonal yang baru menyebabkan
individu merasakan hal-hal yang belum pernah dirasakan sebelumnya.
Keterbatasannya untuk secara kognitif mengolah perubahan-perubahan baru
tersebut bisa membawa perubahan besar dalam fluktasi emosinya.
2.1.3.3
Perubahan kognitif
Semua perubahan
fisik yang membawa implikasi perubahan emosional tersebut semakin dirumitkan
oleh fakta bahwa individu juga sedang mengalami perubahan kognitif. Perubahan
dalam kemampuan berfikir ini diungkapkan oleh piaget (1972) sebagai tahap
terakhir yang disebut sebagai formal
operation dalam perkembangan kognitifnya.
2.1.3.4 Implikasi
psikososial
Semua perubahan
yang terjadi dalam kurun waktu yang singkat itu membawa akibat bahwa focus
utama dari perhatian remaja adalah dirinya sendiri. Secara psikologis
proses-proses dalam diri remaja semuanya tengah mengalami perbahan, dan
komponen-komponen fisik, fisiologis, emosional, dan kognitif sedang mengalami
perubahan besar. Sekarang dengan terbukanya kemungkinan bagi semua objek untuk
dipikirkan dengan cara yang hipotesis, berbeda dan baru, dan dengan perubahan
dirinya yang radikal, sepantasnya bagi individu untuk memfokuskan pada dirinya
sendiri dan mencoba mengerti apa yang sedang terjadi.
2.1.4
Permasalahan Pada Remaja
Menurut
Sofyan dan Willis (2005 : 55) permasalahan remaja, meliputi :
2.1.4.1
Masalah Penyesuaian Diri
Penyesuaian diri ialah kemampuan seseorang untuk hidup dan bergaul secara
wajar terhadap lingkungannya., sehingga ia merasa puas terhadap dirinya dan
terhadap lingkungan. Disamping penyesuaian terhadap diri sendiri adalagi
beberapa jenis penyesuaian diri, seperti penyesuaian diri di dalam keluarga
disini didalamnya ada penyesuaian diri yang lain. Pertama, terhadap orang tua
yang keras (otoriter). Kedua,
penyesuaian diri terhadap mata pelajaran, penyesuaian diri terhadap teman
sebaya, penyesuaian diri terhadap lingkunagn fisik dan sosial sekolah. Ketiga,
penyesuaian diri di masyarakat.
2.1.4.2
Masalah Beragama
Masalah agama pada remaja sebenarnya terletak pada tiga hal. Pertama,
keyakinan dan kesadaran beragama, harus ditumbuhkan dengan sengaja sejak anak
masih kecil. Kedua, pelaksanakan ajaran agama secara teratur. Ketiga, perubahan
tingkah laku karena ajran agama.
2.1.4.3
Masalah kesehatan
Masalah kesehatan ialah masalah yang dihadapi sehubungan dengan
kesehatan jasmani dan rohaninya. Khususnya di masa remaja, masalah kesehatan
sering menjadi pusat pemikiran. Penyakit yang sering didengar adalah kecanduan
alkohol dan obat-obatan terlarang (narkoba).
2.1.4.4
Masalah ekonomi dan mendapatkan pekerjaan
Masalah mendapatkan pekerjaan dan pemenuhan kebutuhan ekonomi, merupakan
masalah yang cukup menggelisahkan para remaja.
2.1.4.5
Masalah perkawinan dan hidup berumah tangga
Masalah ini didasarkan atas kebutuhan seksual yang amat menonjol pada
masa remaja, sehubungan dengan kemantangan organ seksual. Pada masa ini kadang
timbul konflik antara dia dengan orangtuanyadalam soal memilih jodoh.
2.1.4.6
Masalah ingin berperan di masyarakat
Keinginan berperan di masyarakat bersumber dari motif ingin mendapat
penghargaan (motif sosial). Kadang-kadang orang dewasa atau anggota masyarakat
tidak menghiraukan keinginan berperan dalam masyarakat.
2.1.4.7
Masalah pendidikan
Masalah ini berhubungan dengan kebutuhan akan ilmu pengetahuan yang
diperlukan para remaja dalam rangka mencapai kepuasaan ingin mengetahui hal-hal
yang belum terungkapkan secara ilmiah.
2.1.4.8
Masalah mengisi waktu terluang
Waktu terluang ialah sisa waktu yang kosong setelah habis belajar dan
bekerja.
2.1.4.9 Masalah pekerjaan dan pengangguran
2.1.4.10
Dampak pengangguran orang muda
Pengangguran orang muda terutama yang terdidik
amat membahayakan bangsa dan negara. Sejak era reformasi makin banyak kejahatan
yang dilakukan anak-anak muda usia.
2.1.4.11
Kebebasan seks
Kebebasan seks di kalangan remaja makin menggelisahkan. Pergaulan ala
barat nampaknya memicu keinginan untuk bergaul bebas antara wanita dengan
lelaki.
2.2 Konsep
Diri
2.2.1 Definisi Konsep Diri
Konsep diri adalah cara individu memandang dirinya secara utuh,
menyangkut fisik, emosi, intelektual, sosial dan spiritual. Selanjutnya konsep
diri merupakan semua ide, pikiran, kepercayaan, dan pendirian yang diketahui
individu tentang dirinya dan mempengaruhi individu dalam berhubungan dengan
orang lain (Stuart & Sunden,1997, dalam Sunaryo, 2013 : 32). Konsep diri
merupakan kesan terhadap diri sendiri secara keseluruhan yang mencakup
pendapatnya terhadap diri sendiri, pendapat tentang gambaran diri di mata orang
lain, dan pendapatnya tentang hal-hal yang dicapai (Burn, 1993, dalam Ghufron
dan Rini : 2011 :13). Menurut Stuart dan Laraia (2005, dalam Deden & Rusdi,
2013 : 60) konsep diri adalah persepsi individu terhadap sifat dan
kemampuannya, interaksi dengan orang lain dan lingkungan, nilai-nilai yang
berkaitan dengan pengalaman dan obyek, tujuan serta keinginannya.
Dari beberapa definisi dapat ditarik kesimpulan bahwa harga diri adalah
persepsi individu terhadap dirinya sendiri dan mempengaruhi dalam berhubungan
dengan orang lain.
2.2.2
Komponen Konsep Diri
Menurut
Sunaryo (2013) komponen konsep diri meliputi,
2.2.2.1 Gambaran diri (Body image) adalah sikap individu terhadap tubuhnya, baik secara
sadar maupun tidak sadar, meliputi penampilan, potensi tubuh, fungsi tubuh,
serta persepsi, dan perasaan tentang ukuran dan bentuk tubuh.
2.2.2.2 Ideal diri (self ideal) adalah persepsi individu tentang perilakunya,
disesuaikan dengan standar pribadi yang terkait dengan cita-cita, harapan,
keinginan, tipe orang yang diidam-idamkan, dan nilai yang ingin dicapai.
2.2.2.3 Harga diri (self
esteem) adalah penilaian individu terhadap hasil yang dicapai, dengan cara
menganalisis seberapa jauh perilaku individu tersebut sesuai dengan ideal diri.
2.2.2.4 Peran
diri (self role) adalah pola perilaku, sikap, nilai, dan aspirasi yang
diharapkan individu berdasarkan posisinya dimasyarakat. Setiap individu disibukan
oleh berbagai macam peran yang terkait dengan posisinya pada setiap saat,
selama ia masih hidup, misalnya sebagai anak, suami, ayah, mahasiswa, perawat,
dokter, bidan, dosen, dan sebagainya.
2.2.2.5 Identitas
diri (self identity) adalah kesadaran
akan diri pribadi yang yang bersumber dari pengamatan dan penilaian, sebagai
sintesis dari semua aspek konsep diri dan menjadi satu kesatuan yang utuh.
2.2.3 Rentang Respon Konsep Diri
Respon
Respon
Adaptif
Maladaptif
Aktualisasi
Konsep diri Harga diri Kerancuan
Dipersonalisasi
Diri Positif rendah identitas
2.2.3.1 Respon adaptif adalah respon yang
dihadapi klien bila klien menghadapi suatu masalah dapat menyelesaikannya
secara baik antara lain :
a. Aktualisasi diri
Pernyataan tentang konsep diri yang positif dengan
latar belakang pengalaman sukses.
Menurut Ermawati, dkk (2009) Kesadaran akan diri berdasarkan konservasi
mandiri termasuk persepsi masa lalu akan diri dan perasaannya.
b. Konsep diri positif
Apabila individu mempunyai pengalaman yang positif
dalam perwujudan dirinya. Menurut
Ermawati, dkk (2009) konsep diri positifmenunjukan individu akan sukses dalam
menghadapi masalah.
2.2.3.3 Respon mal-adaptif adalah respon individu dalam
menghadapi masalah dimana individu tidak mampu memecahkan masalah tersebut.
Respon mal-adaptif gangguan konsep diri adalah :
a. Gangguan harga diri
Harga diri rendah
: perasaan negatif terhadap diri sendiri, termasuk kehilangan rasa percaya
diri, tidak berharga, tidak berdaya dan pesimis.
b. Kekacauan identitas
Kegagalan individu untuk mengintegrasikan berbagai identitas masa
kanak-kanak kedalam kepribadian psikososial dewasa yang harmonis. Menurut
Ermawati, dkk (2009) Identitas diri kacau atau tidak jelas sehingga tidak
memberikan kehidupan dalam mencapai tujuan.
c. Dipersonalisasi (tidak mengenal diri)
Perasaan tidak realitik dalam kegiatan dari diri
sendiri, kesulitan membedakan diri sendiri, merasa tidak nyata dan asing
baginya. Menurut Ermawati, dkk
(2009) dipersonalisasi yaitu tidak mengenal diri yaitu mempunyai kepribadian
yang kurang sehat, tidak mampu berhubungan dengan orang lain secara intim.
Tidak ada rasa percaya diri Dipersonalisasi : perasaan
tidak realitik dalam kegiatan dari diri sendiri, kesulitan membedakan diri
sendiri, merasa tidak nyata dan asing baginya.
2.3 Konsep
Harga Diri
2.3.1 Definisi Harga Diri
Harga diri adalah penilaian atau evaluasi secara
positif atau negatif terhadap diri (Deux, Dane, dan Wrightsman, 1992 dalam
Sarlito 2009). Harga diri menunjukan keseluruhan sikap seseorang terhadap
dirinya sendiri, baik positif maupun negatif (Baron, Byrne, Branscombe, 2006). Harga diri adalah hal
yang penting bagi budaya individualis (Kwan, Bond, dan Singelis, 1997 dalam
Baron, Byrne, Branscombe, 2006).
Menurut Minchinton (dalam Yulvira, 2012) self-esteem merupakan penilaian atau perasaan mengenai diri
kita sendiri sebagai manusia baik berdasarkan penerimaan akan diri dan tingkah
laku sendiri, maupun berdasarkan keyakinan akan bagaimana diri kita.
Dari beberapa definisi diatas dapat ditarik kesimpulan harga diri adalah
penilaian terhadap diri sendiri baik positif maupun negatif.
2.3.2 Aspek Harga Diri
Moslow
dan Globe (1994, dalam Yulvira, 2012) secara khusus mengemukakan aspek harga
diri meliputi :
2.3.2.1 Rasa dianggap mampu dan berguna bagi
orang lain, yaitu ditunjukkan oleh kemampuan individu bahwa dirinya merasa
mampu dan memiliki sikap optimis dalam menghadapi masalah kehidupan.
2.3.2.2 Rasa dihormati, yaitu seseorang yang
dihormati oleh orang lain merasa bahwa dirinya berharga, percaya diri serta mampu
menghargai dirinya sendiri
2.3.2.3 Rasa
dibutuhkan oleh orang lain, yaitu seseorang dibutuhkan oleh orang lain akan
merasa dirinya diterima oleh lingkungannya.
Coopersmith (dalam Yulvira, 2012) menyebutkan empat aspek
harga diri yang meliputi :
2.3.2.1 Nilai pribadi,
yang diartikan sebagai harga diri ditentukan oleh nilai-nilai pribadi yang
diyakini individu sebagai nilai-nilai yang sesuai dengan dirinya.
2.3.2.2 Kepemimpinan-popularitas,
yaitu individu yang memiliki harga diri yang tinggi cenderung mempunyai
popularitas dan kemampuan yang dituntut dalam kepemimpinan (leadership).
2.3.2.3
Penerimaan dari orang tua dan keluarga yang positif.
Prestasi, yaitu individu dengan harga diri yang
tinggi cenderung memiliki karateristik kepribadian yang dapay mengarahkan pada
kemandirian sosial dan kreativitas yang tinggi.
2.3.3 Faktor Yang Mempengaruhi Harga Diri
Menurut
Ghufron dan Rini (2011 : 44) faktor yang mempengaruhi harga diri meliputi :
2.3.3.1 Faktor jenis kelamin
Menurut Ancok dkk (1968) wanita selalu merasa harga dirinya lebih rendah
daripada pria seperti perasaan kurang mampu. Kepercayaan diri yang kurang
mampu, atau merasa harus dilindungi. Hal ini mungkin terjadi karena peran orang
tua dan harapan-harapan masyarakat yang berbeda-beda baik pada pria maupun
wanita. Coopersmith (1967) membuktikan bahwa harga diri wanita lebih rendah
daripada pria.
2.3.3.2 Intelegensi
Intelegensi sebagai gambaran lengkap kapasitas fungsional individu
sangat erat berkaitan dengan prestasi karena pengukuran intelegensi selalu
berdasarkan kemampuan akademis. Menurut Coopersmith (1967) individu dengan
harga diri yang tinggi akan mencapai prestasi akademik yang tinggi daripada
individu dengan harga diri yang rendah. Selanjutnya, dikatakan individu dengan
harga diri yang tinggi memiliki skor intelegensi yang lebih baik, taraf
aspirasi yang lebih baik, dan selalu berusaha keras.
2.3.3.3 Kondisi fisik
Coopersmith (1967) menemukan adanya hubungan yang konsisten antara daya
tarik fisik dan tinggi badan dengan harga diri. Individu dengan kodisi fisik
yang menarik cenderung memiliki harga diri yang lebih dibandingkan dengan
kondisi fisik yang kurang menarik.
2.3.3.4 Lingkungan keluarga
Peran keluarga sangat menentukan bagi perkembangan harga diri anak.
Dalam keluarga, seorang anak untuk pertama kalinya mengenal orang tua yang
mendidik dan membesarkannya serta sebagai dasar untuk bersosialisasi dalam
lingkungan yang lebih besar. Keluarga harus menemukan suatu kondisi dasar untuk
mencapai perkembangan harga diri anak yang baik.
2.3.3.5 Lingkungan Sosial
Klass dan Hodge (1978) berpendapat bahwa pembentuk harga diri dimulai
dari seseorang yang menyadari dirinya berhasil atau tidak. Hal ini merupakan
hasil dari proses lingkungan, penghargaan, penerimaan, dan perlakuan orang lain
kepadanya.
2.3.4 Klasifikasi Harga Diri
Sarandria
(2012) mengkasifikasikan harga diri menjadi dua bagian, yaitu harga diri tinggi
dan harga diri rendah.
2.3.4.1 Harga Diri Tinggi
a.
Konsep Harga Diri Tinggi
Bourney
dan Savary (1994, dalam Ghufron & Rini, 2011) mengatakan bahwa harga diri
tinggi adalah orang yang mengenal dirinya sendiri dengan segala
keterbatasannya, merasa tidak malu atas keterbatasan yang dimiliki, memandang
keterbatasan sebagai suatu realitas dan menjadikan keterbatasan itu sebagai
tantangan untuk berkembang. Harga diri tinggi adalah kemampuan untuk melihat
diri sendiri berharap, berkemampuan, penuh kasih sayang yang memiliki bakat-bakat
pribadi yang khas serta kepribadian yang berharga dalam hubungannya dengan
orang lain.
b.
Ciri-ciri harga diri tinggi
Menurut Branden
(1987, dalam Ghufron & Rini, 2011) ciri-ciri harga diri tinggi meliputi :
1) Mampu menanggulangi kesengsaraan dan kemalangan hidup, lebih tabah dan
ulet, lebih mampu melawan suatu kekalahan, kegagalan, dan keputusasaan.
2) Cenderung lebih berambisi.
3) Memiliki kemungkinan untuk lebih kreatif dalam pekerjaan dan sebagai
sarana untuk menjadi lebih berhasil.
4) Memiliki kemungkinan untuk lebih dalam dan besar dalam membina hubungan
interpersonal (tampak) dan tampak lebih gembira dalam menghadapi realitas.
2.3.4.2
Konsep Harga Diri Rendah
a. Definisi Harga Diri Rendah
Menurut Carpenito
tahun 2007 (dalam Nita Fitria, dkk, 2013) harga diri rendah adalah keadaan dimana individu
mengalami/berisiko mengalami
evaluasi diri negatif tentang kemampuan diri. Harga diri rendah
merupakan perasaan negatif terhadap diri sendiri termasuk kehilangan rasa
percaya diri, tidak berharga, tidak berguna, tidak berdaya, pesimis, tidak ada
harapan dan putus asa ( Depkes RI, 2000). Harga
diri rendah adalah evaluasi diri dan perasaan tentang diri atau kemampuan diri
yang negatif, dapat secara langsung atau tidak langsung di ekspresikan.
(http://hermankampus.blogspot.com/2013/04/laporan-pendahuluan-harga-diri-rendah.html, diakses
tgl 10 april 2014).
Dari beberapa
definisi tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa harga diri rendah adalah penilaian dan
perasaan yang negatif terhadap diri sendiri
b.
Tanda dan
gejala Harga Diri Rendah
Menurut Zulfan dan Sri (2012) menyebutkan
tanda dan gejala harga diri rendah sebagai berikut :
1. Perasaan malu terhadap diri sendiri akibat penyakit atau tindakan,
misal : malu karena alopesia stelah dilakukan tindakan kemoterapi.
2. Rasa bersalah terhadap diri sendiri, menyalahkan, mengkritik dan
mengejek diri sendiri.
3.
Merendahkan martabat : saya tidak
bisa, saya bodoh, saya tidak tahu apa-apa, saya tidak mampu.
4. Gangguan hubungan sosial.
5. Percaya diri kurang, sukar mengambil keputusan.
6.
Mencederai diri.
7.
Mudah marah, mudah tersinggung.
8. Apatis, bosan, jenuh dan putus asa.
9. Kegagalan menjalankan peran, proyeksi (menyalahkan oranglain
2.3.5 Perbedaan Harga Diri Tinggi
dan Harga Diri Rendah
Tabel
2.1 Aspek Self esteem menurut
Minchinton
Aspek
|
Self-esteem Tinggi
|
Self-esteem Rendah
|
Perasaan
mengenai diri sendiri
|
a. Menerima dirinya sendiri dengan segala kelebihan dan kekurangan yang dimilikib. Dapat menghargai dirinya sendiri sebagai seorang manusia tanpa terpengaruh oleh pendapat dari orang lain. Meskipun Ia mendapat kritik dari orang lain, ia tidak akan merasa rendah diri.c. Mampu mengontrol emosi dan bebas dari perasaan negatif yang berlebihan.d. Mampu mengekspresikan dirinya, serta merefleksikan berbagai kemampuan positif yang dimiliki emosi, sehingga sering merasa moody. |
a.
Cenderung terfokus pada kekurangan atau kelemahan yang dimilikinya dan kurang berfikir mengenai kelebihan
atau kekuatan yang dimiliki.
b.
Takut
menerima opini yang negatif dari orang lain.
c. Tidak dapat
mengendalikan emosi, sehingga sering merasa moody.
d. Merasa
takut untuk mencoba, tidak mau berusaha, dan seringkali meragukan kemampuan
yang dimilikinya.
|
Perasaan mengenai kehidupan
|
a. Dapat menerima kenyataan dan tidak menyalahkan siapapun
atas permasalahan yang dihadapi. Memiliki tujuan dan harapan yang realistis
serta dapat bertanggung jawab atas segala pilihan dan keputusan yang telah
dibuat.
b. Semakin mampu melihat berbagai tantangan yang
berguna bagi dirinya.
c. Semakin siap untuk bangkit kembali setelah mengalami
suatu kegagalan.
|
a. Merasa bahwa segala peristiwa yang dialami terjadi
diluar kendalinya, individu tidak mau mengakui kesalahan, bahkan cenderung
menyalahkan pihak lain atas permasalan yang dihadapinya.
b. Tidak berani mencari tantangan baru dalam hidupnya,
lebih senang menghadapi hal-hal yang sudah ia kenal dengan baik serta
menyenangi hal-hal yang tidak penuh tuntutan.
c. Mengambil sikap mundur bila mengalami suatu
kegagalan.
|
Perasan mengenai hubungan dengan orang lain
|
a. Memiliki toleransi dan rasa penghargaan terhadap
semua orang dan bersikap wajar dalam memperlakukan orang lain.
b. Memiliki kejujuran, keterbukaan, dan kemampuan yang
baik dalam berkomunikasi dengan orang lain.
|
a. Merasa tidak nyaman bila berada di tengah-tengah
orang lain. Tidak dapat bersikap ramah terhadap orang lain. Seringkali
individu akan bersikap malu-malu atau bahkan defensive terhadap orang lain.
b. Cenderung takut menghadapi respon dari orang lain,
sehingga dalam berkomunikasi cenderung menampilkan sikap mengelak atau
malu-malu.
|
Menurut A. Aziz Alimul Hidayat
(2007), skala yang digunakan untuk mengukur sikap adalah dengan skala Likert,
yaitu tentang pendapat atau persepsi seseorang tentang gejala atau masalah yang
dialami. RSES adalah
alat ukur yang dikembangkan oleh Morris Rosenberg (1965). RSES adalah alat ukur
yang paling banyak digunakan untuk mengukur self
esteem secara umum, dalam skala likert satu sampai empat, dengan rentang
skor antara 0-30. Setengah dari item merupakan ekspresi positif, dan
setengahnya lagi merupakan ekspresi negatif atau dapat dikatakan skor 1-15
merupakan harga diri rendah dan skor 16-30 merupakan harga diri tinggi
(Sarandria, 2012).
Tabel 2.2 Skala Rosenberg
Pernyataan Positif
|
Skor
|
|
Sangat Setuju
|
3
|
|
Setuju
|
2
|
|
Tidak Setuju
|
1
|
|
Sangat Tidak Setuju
|
0
|
|
Nilai
|
|
|
Pernyataan Negatif
|
Skor
|
Sangat Setuju
|
0
|
Setuju
|
1
|
Tidak Setuju
|
2
|
Sangat Tidak Setuju
|
3
|
Nilai
|
|
2.4 Konsep
Pola Asuh
2.4.1 Definisi Pola Asuh
Pola asuh adalah asuhan yang diberikan ibu atau
pengasuh lain berupa sikap, dan perilaku dalam hal kedekatannya dengan anak,
memberikan makanan, merawat, menjaga kebersihan, memberi kasih sayang, dan
sebagainya (Soekirman, 2000, dalam Bety, 2012 : 162). Menurut Casmini (2007, dalam Bety, 2012 :162) pola
asuh adalah bagaimana orang tua memperlakukan anak, mendidik, membimbing, dan
mendisiplinkan anak, dalam mencapai proses kedewasan hingga pada upaya
pembentukan norma-norma yang diharapkan masyarakat pada umumnya. Menurut Aisyah (2010) pola asuh orang tua
merupakan interaksi antara anak dan orang tua selama
mengadakan kegiatan pengasuhan.
Dari beberapa definisi pola
asuh diatas dapat ditarik kesimpulan pola asuh adalah Cara
orang tua dalam membimbing dan mendidik anak serta memberikan perlindungan dan
kasih sayang untuk perkembangan anak yang lebih baik.
2.4.2 Tipe Pola Asuh
Gaya
pengasuhan Baumrind (dalam Santrock, 2011 :103)
menggambarkan empat jenis gaya pengasuhan.
2.4.2.1 Pengasuhan otoriter (authoritarian) adalah membatasi dan
menghukum ketika orang tua memaksa anak-anak untuk mengikuti arahan mereka dan
menghormati pekerjaan serta upaya mereka. Orang tua otoriter menempatkan
batasan-batasan dan kontrol yang tegas pada anak dan memungkinkan sedikit
pertukaran verbal. Sebagai contoh, orang tua yang otoriter mungkin berkata,
“kamu lakukan dengan cara saya atau tidak”. Orang tua otoriter juga mungkin
sering memukul, menegakan aturan-aturan kaku, tetapi tidak menjelaskan kepada
mereka, anak dan menunjukan kemarahan kepada anak. Anak-anak dari orang tua
otoriter sering tidak bahagia, takut, dan ingin membandingkan dirinya dengan
orang lain, gagal untuk memulai aktifitas dan memeliki kemampan komunikasi yang
lemah. Anak laki-laki dari orang tua otoriter dapat berperilaku agresif.
2.4.2.2 Pengasuhan
otoritatif (authoritative) mendorong
anak-anak untuk menjadi mandiri, tetapi masih menempatkan batasan dan kontrol
atas tindakan mereka. Komunikasi verbal memberi dan menerima secara ekstensif
diperbolehkan, dan orang tua hangat dan nurturant
terhadap anak-anak. Orang tua yang otoritatif dapat memeluk anak dengan cara
uang menghibur anak dan berkata,, “kamu tahu bahwa kamu tidak seharusnya
melakukan hal tersebut, yuk, kita mengobrol tentang bagaimana caranya biar kamu
bisa menangani situasi itu dengan lebih baik lain kali”. Orang tua yang
otoritatif menunjukan kegembiraan dan dukungan dalam menanggapi perilaku
anak-anak yang konstruktif. Mereka juga mengharapkan perilaku dewasa, mandiri,
dan sesuai umur oleh anak-anak mereka. Anak-anak yang orang tuanya otoritatif
sering gembira, terkendali, dan mandiri, serta berorientasi pada prestasi,
merekacenderung memelihara hubungan yang bersahabat dengan teman sebaya,
bekerja sama dengan orang dewasa, dan menangani stress dengan baik.
2.4.2.3 Pengasuhan
lalai (neglectful) meruapakan gaya
orang tua sangat tidak terlibat dalam kehidupan anak. Anak-anak yang orang
tuanya lalai mengembangkan rasa bahwa aspek lain kehidupan orang tua lebih
penting dari pada mereka. Anak-anak tersebutcenderung tidak kompeten secara
sosial. Banyak orang yang miskin dalam pengendalian diri dan kurang mandiri.
Mereka sering memiliki harga diri yang rendah dan tidak matang, serta mungkin
terasing dari keluarga. Pada masa remaja mereka mungin menunjukan pola
membolos, dan kenakalan.
2.4.2.4 Pengasuhan permisif (indulgent) merupakan sebuah gaya
pengasuhan ketika orang tua sangat terlibat dengan anak-anak mereka, tetapi
menempatkan beberapa tuntutan atau kontrol atas mereka. Orang tua seperti ini
membiarkan anak-anak mereka melakukan apa yang mereka inginkan. Hasilnya adalah
bahwa anak-anak mereka tidak pernah belajar untuk mengendalikan diri perilaku
mereka sendiri dan selalu mengharapkan untuk mendapatkan keinginan mereka.
Beberapa orang tua sengaja membesarkan anak-anak mereka dengan cara ini karena
mereka percaya kombinasi dari keterlibatan, hangat dan beberapa batasan akan
menghasilkan anak yang kreatif dan percaya diri. Namun, anak-anak yang orang
tuanya permisif jarang belajar untuk menghormati orang lain, dan mengalami
kesulitan mengendalikan perilakumereka. Mereka mungkin mendominasi, egosentris,
patuh dan kesulitan dalam hubungan teman sebaya.
Menurut
Casmini (2007 dalam Bety, 2012) gaya pengasuhan terbagi menjadi:
2.4.2.1
Otoriter (Authorian)
Pola ini menggunakan pendekatan yang memaksakan kehendak orang tua kepada
anak. Anak harus menurut kepada orang tua. Keinginan orang tua harus dituruti,
anak tidak boleh mengeluarkan pendapat. Pola asuh ini dapat mengakibatkan anak
menjadi penakut, pencemas, menarik diri dari pergaulan, kurang adaptif, kurang
tajam, kurang tujuan, curiga kepada orang lain, dan mudah stress.
2.4.2.2
Permisif
Orang tua serba membolehkan anak berbuat apa saja. Orang tua memiliki
kehangatan, dan menerima apa adanya. Kehangatan cenderung memanjakan, ingin
dituruti keinginannya. Sedangkan menerima apa adanya cenderung memberikan
kebebasan kepada anak untuk berbuat apa saja. Pola asuh ini dapat menyebabkan
anak agresif, tidak patuh pada orang tua, sok kuasa, kurang mampu mengontrol
diri.
2.4.2.3
Demokratis (Authoritative)
Orang tua sangat memperhatikan kebutuhan anak, dan mencukupinya dengan
pertimbangan faktor kepentingan dan kebutuhan. Pola asuh ini dapat
mengakibatkan anak mandiri, mempunyai kontrol diri, mempunyai kepercayaan diri
yang kuat, dapat berinteraksi dengan teman sebayanya dengan baik, mampu
mengahadapi stress, mempunyai minat terhadap hal-hal yang baru, kooperatif
dengan orang yang dewas, penurut, patuh, dan berorientasi pada prestasi.
a. Syarat pola asuh authoritative
1)
Utamakan
kehangatan atau kasih sayang yang mendalam. Kehangatan menjadi sangat penting
karena tanpa adanya hal itu penerapan pola asuh authoritative semakin tidak
gampang, terutama pada anak-anak yang tergolong sulit, dan slow to warm up.
Kehangatan akan lebih menenangkan hati anak dengan kedua tipe tempramen ini sehingga
ladar negatifnya turun.
2)
Memberlakukan
batasan orang tua harus tegas dan konsisten sehingga anak akhirnya belajar
bahwa orang tuanya tidak bermain-main dengan aturan yang sudah ditetapkan.
3)
Orang tua
tidak boleh memaksakan kehendaknya. Ada rambu-rambu yang harus ditaati oleh
orang tua dan anak. Selama masih menginjak usia balita, bila anak menolak
rambu-rambu yang sudah ditetapkan maka dia jangan dipaksa mematuhinya. Cobalah
cari alternatifnya dengan memakai penjelasan berbeda. Namun anak-anak usia sekolah
umumnya sedah dapat diajak berbicara atau berdiskusi tentang rambu-rambu ini,
sehingga penerapannya menjadi lebih mudah. Hendaknya orang tua sudah
mempersiapkan alasan-alasan yang dapat diterima anak. Yaitu alasan yang tidak
terlalu mengada-ada.
4)
Dalam
mengasuh dan membesarkan anak yang termasuk mudah, orang tua jangan sampai
mengabaikan anak. Hal ini umumnya sering terjadi pada orang tua yang memiliki
anak-anak dengan dua tipe berbedan misalnya yang satu termasuk tipe sulit, dan
yang lain mudah. Ayah dan ibu lebih memperhatikan anak yang sulit, dan selalu
berusaha menenangkannya.
2.4.3 Faktor Yang
Mempengaruhi Pola Asuh
Wong (2001, dalam Supartini, 2004) mengatakan
faktor-faktor yang mempengaruhi pola asuh orang tua sebagai berikut.
2.4.3.1 Pendidikan Orang Tua
Pendidikan diartikan sebagai pengaruh lingkungan atas
individu untuk menghasilkan perubahan-perubahan yang tetap atau permanen
didalam kebiasaan tingkah laku, pikiran dan sikap. Edwards (2006) menyimpulkan
bahwa pendidikan orang tua dalam perawatan anak akan mempengaruhi persiapan
mereka menjalankan pengasuhan. Ada beberapa cara yang dapat dilakukan untuk
menjadi lebih siap dalam menjalankan peran pengasuhan antara lain: mengamati
segala sesuatu dengan berorientasi pada masalah anak, selalu berupaya
menyediakan waktu untuk anak-anak, menilai perkembangan fungsi keluarga dan
kepercayaan anak dan terlibat aktif dalam setiap pendidikan anak.
2.4.3.2 Usia Orang Tua.
Tujuan undang-undang perkawinan salah satunya adalah
memungkinkan pasangan untuk siap secara fisik maupun psikososial dalam
membentuk rumah tangga dan menjadi orang tua. Usia antara 17 tahun untuk wanita
dan 19 tahun untuk laki-laki mempunyai alasan kuat dalam kaitannya dengan
kesiapan menjadi orang tua. Walaupun demikian, rentang usia tertentu adalah
baik untuk menjalankan peran pengasuhan. Apabila terlalu muda atau terlalu tua,
mungkin tidak dapat menjalankan peran tersebut secara optimal karena diperlukan
kekuatan fisik dan psikososial.
2.4.3.3 Keterlibatan Ayah
Peran ayah dalam keluarga telah berubah dramatis dari
generasi lalu jika dibandingkan dengan generasi orang-orang tua dahulu.
Perubahan tersebut biasanya menyenangkan bagi para ibu dan juga para ayah itu
sendiri (Rimm, 2003).
2.4.3.4 Pengalaman Sebelumnya dalam
Mengasuh Anak
Orang tua yang sudah mempunyai pengalaman sebelumnya
dalam mengasuh anak akan lebih siap menjalankan peran pengasuhan, selain itu
orang tua akan lebih mampu mengamati tanda-tanda pertumbuhan dan perkembangan
yang normal.
2.5 Kerangka
Konsep
Kerangka konsep merupakan model konseptual yang berkaitan dengan
bagaimana seorang peneliti menyusun teori atau menghubungkan secara logis
beberapa faktor yang dianggap penting untuk masalah (Hidayat, 2014 : 37).
Kerangka konsep penelitian ini adalah sebagai berikut.
Pola asuh orang
tua :
a. Otoriter (Autoritarian)
b. Demokratif (Autoritative)
c. Permisif
|
Harga diri remaja
|
Harga diri tinggi
|
Harga diri rendah
|
Gambar 2.5 Kerangka Konsep
2.6 Hipotesis
Hipotesis berasal dari kata hipo (lemah) dan
tesis (pernyataaan), yaitu suatu pernyataan yang masih lemah dan membutuhkan
pembuktian untuk menegaskan apakah hipotesis tersebut dapat diterima atau
ditolak, berdasarkan fakta atau data empiris yang telah dikumpulkan dalam
penelitian (Hidayat, 2014).
Hipotesis penelitian ini adalah ada hubungan antara pola asuh orang tua
dengan harga diri pada remaja di SMP Negeri 12 Banjarmasin.
BAB 3
METODELOGI PENELITIAN
3.1 Jenis
dan Rancangan Penelitian
Berdasarkan tujuan
penelitian maka desain penelitian yang
digunakan dalam penelitian ini adalah analitik deskriptif dengan pendekatan cross sectional, yaitu suatu penelitian pada beberapa populasi diamati
pada waktu yang sama atau sekali waktu (Hidayat, 2014)
3.2 Definisi
operasional
Data operasional adalah uraian tentang batasan variabel yang dimaksud
atau tentang apa yang diukur oleh varibel yang bersangkutan. Definisi
operasional ini penting dan diperlukan agar pengukuran atau pengukuran data itu
konsisten antara sumber data (responden) yang satu dengan yang lain. Disamping
variabel harus didefinisi operasionalkan juga perlu dijelaskan cara atau metode
penguukuran yang digunakan. Untuk memudahkan, biasanya definisi operasional itu
disajikan dalam bentuk “matrix” yang terdiri dari kolom-kolom (Notoatmodjo, 2010).
Tabel 3.1 Definisi Operasional
No
|
Variabel
|
Definisi
Operasional
|
Parameter
|
Alat Ukur
|
Skala
|
Kategori
|
1
|
Variabel Independen
Pola Asuh Orang Tua
|
Cara orang tua dalam
membimbing dan mendidik anak serta memberikan perlindungan dan kasih sayang
untuk perkembangan anak yang lebih baik.
|
a. Authoritarian (otoriter).
b. Autoritatifve.
c. Permisive
|
Kuesioner
|
Ordinal
|
a. Otoriter, apabila jawaban a lebih dominan dari jawaban b dan
c.
b. Permisif,
apabila jawaban b lebih dominan dari jawaban a dan c.
c. Demokratis,
apabila jawaban c lebih dominan dari jawaban a dan b
|
2.
|
Variabel Dependen Harga Diri Remaja
|
Penilaian terhadap diri sendiri
baik positif maupun negatif
|
a. Rasa
dianggap mampu dan berguna bagi orang lain
b.Rasa
dihormati
c. Rasa
dibutuhkan oleh orang lain
|
Kuesioner
|
Ordinal
|
a. Harga diri
rendah, apabila nilai 0-15
b.Harga diri tinggi, apabila
nilai 16-30
|
3.3 Populasi,
Sampel dan Sampling
3.3.1 Populasi penelitian
Menurut Sugiyono (2004 dalam Hidayat, 2014) Populasi merupakan wilayah
generalisasi yang terdiri atas : objek/subjek yang mempunyai kuantitas dan
karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan
kemudian ditarik kesimpulannya. Populasi pada penelitian ini adalah siswa kelas
VIII Sekolah Menengah Pertama Negeri 12 Banjarmasin pada tahun 2014 dengan
jumlah siswa sebanyak 302 orang siswa.
3.3.2
Sampel
Sampel
merupakan bagian populasi yang akan diteliti atau sebagian jumlah dari
karakteristik yang dimiliki oleh populasi (Hidayat, 2014). Pada penelitian ini
jumlah sampel adalah 75 siswa atau sebagian dari jumlah populasi kelas VIII di
Sekolah Menengah Pertama Negeri 12 Banjarmasin.
3.3.2.1
Cara pengambilan sampel
Jumlah sampel penelitian ini adalah sebagai berikut :
n =
n =
n = 75,12 =75
Berdasarkan
perhitungan diatas maka jumlah sampel dalam penelitian ini sebanyak 75 orang.
Keterangan
: N = Besar Populasi
n = Besar
Sampel
d =Tingkat kepercayaan yang diinginkan (0,1)
3.3.3 Sampling
3.3.3.1
Besar sampel
Teknik
pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah probability sampling, dan menggunakan
teknik Simple Random Sampling yaitu pengambilan
anggota sampel dari populasi secara acak tanpa memperhatikan strata yang ada
dalam populasi ini. Cara demikian dilakukan jika anggota populasi dianggap
homogen (Sumiati,dkk, 2009). Berdasarkan teori tersebut maka langkah pertama
dalam pengambilan sampel adalah mengumpulkan seluruh absensi nama siswa setiap
kelas. Kemudian dibuat undian, selanjutnya diundi sampai mendapatkan 75 sampel
secara acak untuk dijadikan responden.
3.4 Tempat
dan waktu penelitian
3.4.1 Tempat Penelitian
Penelitian ini dilakukan
di SMP Negeri 12 Banjarmasin.
3.4.2 Waktu Penelitian
Penelitian ini
dilaksanakan pada bulan Desember
2013 sampai dengan bulan Juli 2014.
3.5 Instrumen dan Teknik Pengumpulan Data
3.5.1 Teknik pengumpulan data
Teknik pengumpulan
data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan instrument
penelitian yaitu kuesioner. Pengisian kuesioner terlebih dahulu mendapat
persetujuan dari responden untuk kesediaannya menjadi responden yang terlibat
dalam penelitian.
3.5.2 Instrument pengumpulan data
Instrument yang
digunakan berupa kuesioner
dibuat oleh Ahmad Farid dan Rosenbergyang telah dimodifikasi.
3.5.2.1 Kuesioner pola asuh orang tua
Kuesioner pola asuh
orang tua diambil dari
skala yang
dibuat oleh Ahmad farid 2013 yang terdiri dari 10 pertanyaan. Cara menjawab
kuesioner dengan memilih salah satu jawaban yang dianggap benar dengan memberi
tanda silang (x). Pilihan yang lebih dominan menjadi kategori Pola Asuh yang
diterapkan oleh orang tuanya.
Tabel 3.3 Kisi-kisi
kuesioner pola asuh
Kategori
|
Pilihan jawaban
|
Demokratis
Permisif
Otoriter
|
A
B
C
|
3.5.2.2 Kuesioner harga diri
remaja
Kuesioner harga diri diambil dari skala baku Rosenberg, yang terdiri dari 10 pertanyaan dengan item
jawaban “sangat sesuai, sesuai, tidak sesuai, dan sangat tidak sesuai” dengan
memberi tanda checklist ( √ ). Skor 0-15 dikatakan dengan harga diri rendah dan skor 16-30 dikatakan
dengan harga diri tinggi.
Tabel 3.4 Kisi-kisi kuesioner harga diri
No.
|
Kategori
|
Nomor item
|
Jumlah
|
1.
2.
|
Kepercayaan diri
Penurunan kepercayaan
diri
|
1,3,4,7,8,10
2,5,6,9
|
6
4
|
Pada penelitian ini kuesioner disusun dengan
menggunakan format skala likert, karena skala ini memang digunakan untuk
mengukur opini, keyakinan, dan sikap. Skor pada tiap item terentang dari 0 hingga 3 dimana :
Skor 0 menunjukan Sangat Setuju (SS)
Skor 1 menunjukan Setuju (S)
Skor 2 menunjukan Tidak Setuju (TS)
Skor 3 menunjukan
Sangat Tidak Setuju (STS)
3.6 Uji Validitas dan
Realibilitas
Kuesioner pola asuh orang tua
dan harga diri sebelum dibagikan untuk penelitian, kuesioner
ini akan dilakukan uji validitas dan realibilitas. Menurut Budiman dan Riyanto
(2013) uji validitas adalah suatu ukuran yang menunjukkan tingkat-tingkat
validitas atau kesahihan suatu instrumen. Reliabilitas adalah indeks yang
menunjukkan sejauh mana suatu alat pengukur dapat dipercaya atau dapat
diandalkan.
3.6.1 Uji Validitas
Uji validitas diperlukan untuk
melihat apakah butir-butir pertanyaan pada kuesioner sudah tepat menguji apa
yang menjadi tujuan penelitian. Pengujian validitas dengan bantuan program
aplikasi komputer Statistical Product and Service Solution (SPSS) melalui uji Pearson Product Moment yang
menghasilkan nilai korelasi, pada kuesioner ini
dikatakan valid jika diketahui rhitung >rtabel.
3.6.2 Reliabilitas
Untuk mengetahui reliabilitas
kuesioner dapat dilihat nilai alpa cronbach, dimana kuesioner
penelitian sudah realibil jika nilai alpa cronbach > 0,60 (Budiman
& Riyanto, 2013).
3.7
Teknik Pengambilan Data
Pengambilan data dilakukan dengan teknik membagikan kuesioner
dan teknik observasi kepada
responden dengan langkah-langkah sebagai berikut:
3.7.1 Meminta surat izin dari STIKES Muhammadiyah Banjarmasin tentang
rekomendasi melakukan penelitian
di SMP Negeri 12 Banjarmasin.
3.7.2 Setelah mendapat persetujuan dari SMP Negeri 12 Banjarmasin peneliti
melakukan penelitian terhadap responden dengan terlebih dahulu memberikan
penjelasan tentang maksud dan tujuan penelitian.
3.7.3 Memberikan
lembar persetujuan untuk menjadi responden dan jika responden
menyetujui untuk jadi responden kemudian diminta untuk menandatangani
persetujuan untuk menjadi responden
3.7.4 Pengumpulan
data dilakukan dengan memberikan kuisioner kepada responden untuk diisi.
3.7.5 Peneliti
menunggu hingga responden selesai menjawab seluruh pertanyaan.
3.7.6 Pada responden yang kurang memahami pengisian kuesioner, maka
oleh peneliti dengan membantu
responden menjelaskan sesuai isi kuesioner
dengan penjelasan seperlunya dan diminta memilih jawaban sesuai point yang ada dan dituliskan oleh
peneliti menurut pilihan responden sesuai apa adanya.
3.7.7 Kuesioner dan lembar observasi yang
telah diisi, kemudian dikumpulkan dan diperiksa kelengkapannya oleh peneliti,
kemudian dilakukan analisis.
3.8
Jenis
dan Sumber Data
3.8.1
Data primer
Data primer disebut juga data tangan pertama. Data primer diperoleh
langsung dari subjek penelitian dengan mengenakan alat pengukuran atau alat
pengambil data, langsung pada subjek sebagai sumber informasi yang dicari
(Saryono & Anggraini, 2013). Data primer dalam penelitian ini berupa pola
asuh orang tua dan harga diri pada remaja. . Data ini diperoleh langsung
dari siswa SMP Negeri 12 Banjarmasin.
3.8.2
Data sekunder
Data sekunder disebut juga data tangan kedua. Data sekunder adalah data
yang diperoleh lewat pihak lain, tidak langsung diperoleh oleh peneliti dari
subjek penelitian. Biasanya berupa data dokumentasi atau data laporan yang
telah tersedia (Saryono & Anggraini, 2013). Data sekunder dalam penelitian
ini berupa jumlah siswa SMP Negeri 12 Banjarmasin.
3.9
Teknik Pengolahan dan Analisa Data
3.9.1
Teknik pengolahan data
Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan komputer. Langkah-langkah
pengolahan data yang dilakukan adalah sebagai berikut :
3.9.1.1 Editting, yaitu untuk pengecekan dan
perbaikan isian formulir atau kuesioner.
3.9.1.2 Coding, yaitu kegiatan pemberian kode
numeric (angka) terhadap data yang terdiri atas beberapa kategori.
3.9.1.3 Entri data
Data entri adalah kegiatan memasukkan data
yang telah dikumpulkan ke dalam master tabel atau databse komputer, kemudian membuat distribusi frekuensi sederhana
atau bisa juga dengan membuat tabel kontingensi.
3.9.1.4 Melakukan teknik analisis
Dalam melakukan analisis, khususnya terhadap data
penelitian akan menggunakan ilmu statistik terapan yang disesuaikan dengan
tujuan yang hendak dianalisis.
3.9.2 Teknik Analisa Data
Analisa data yang digunakan dalam penelitian ini adalah menganalisa
hubungan antara pola asuh orang tua dengan harga diri remaja di SMP Negeri 12
dengan jumlah sampel 75 siswa dari jumlah populasi 392 siswa. Teknik analisa
yang dilakukan dengan :
3.9.2.1 Penyusunan data : hal ini dilakukan
untuk memudahkan penilaian dan pengecekan apakah semua data yang diperlukan untuk
mencapai tujuan penelitian itu sudah lengkap.
3.9.2.2 Klasifikasi data : mengelompokan data
yang diperoleh disesuaikan dengan permasalahan dan tujuan penelitian.
3.9.2.3 Analisa
data
a.
Analisa Univariat
Dilakukan terhadap tiap variabel yaitu variabel independen pola asuh
orang tua, dan variabel dependen harga diri. Data diolah dalam bentuk
distribusi frekuensi dan dianalisis dalam bentuk data persentase.
b.
Analisa Bivariat
Analisa
Bivariat yaitu menganalisa data untuk
mengetahui hubungan antara variabel independen (pola asuh orang tua) dengan
variabel dependen (harga diri). Analisa bivariat
adalah teknis analisa yang dipergunakan untuk menganalisa antara dua variabel.
Analisa ini menggunakan uji statistik Chi
Square dengan tingkat kepercayaan 95%. Kriteria hubungan variabel
ditentukan oleh nilai P value value
> α =
0,05, maka H0 diterima (tidak ada hubungan bermakna antara variabel independen
dan variabel dependen), jika P value < α = 0,05, maka H0
ditolak (ada hubungan bermakna antara variabel independen dan variabel
dependen).
Dengan Rumus :
X2 = ∑ (O-E)2
E
Keterangan:
X2 = hasil chi-square
O =
Nilai hasil pengamatan
E =
Nilai ekspektasi atau nilai harapan
3.10 Etika
Penelitian
Sebelum
penelitian ini dilakukan, peneliti mengajukan surat permohonan untuk mendapat
rekomendasi dari Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Muhammadiyah Banjarmasin dan
meminta ijin kepada Sekolah Menengah Pertama Negeri 12 Banjarmasin untuk
melakukan penelitian. Setelah mendapatkan persetujuan barulah penelitian ini
dilakukan dengan menekankan etika. Etika penelitian yang perlu diperhatikan menurut
(Hidayat, 2014) antara lain adalah sebagai berikut :
3.10.1
Lembar Persetujuan Menjadi Responden (Informed Concent)
Informed concent merupakan bentuk persetujuan antara peneliti
dengan responden penelitian dengan memberikan lembar persetujuan. Informed concent tersebut diberikan
sebelum penelitian dilakukan dengan memberikan lembar persetujuan untuk menjadi
responden.
3.10.2 Tanpa Nama
(Anonimity)
Masalah etika keperawatan merupakan masalah yang memberikan jaminan
dalam penggunaan subjek penelitian dengan cara tidak memberikan atau
mencantumkan nama responden pada lembar alat ukur dan hanya menuliskan kode
pada lembar pengumpulan data atau hasil penelitian yang akan disajikan.
3.10.3
Kerahasiaan (Confidentiality)
Masalah ini merupakan masalah etika dengan memberikan jaminan
kerahasiaan hasil penalitian, baik informasi maupun masalah-masalah lainnya.
Semua informasi yang telah dikumpulkan dijamin kerahasiaannya oleh peniliti,
hanya kelompok data tertentu yanag akan dilaporkan pada hasil riset.
0 komentar:
Posting Komentar