Senin, 16 Juni 2014

HUBUNGAN POLA ASUH ORANG TUA DENGAN HARGA DIRI PADA REMAJA DI SMP NEGERI 12 BANJARMASIN




HUBUNGAN POLA ASUH ORANG TUA DENGAN HARGA DIRI  PADA REMAJA DI SMP NEGERI 12 BANJARMASIN TAHUN 2014



PROPOSAL


OLEH
MEIDA LESTARI HADI
NPM. 010041 AS1







SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN MUHAMMADIYAH BANJARMASIN
PROGRAM STUDI S-1 KEPERAWATAN
BANJARMASIN, 2014 



BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Pada fase perkembangan manusia, masa remaja merupakan pusat perhatian. Hal ini disebabkan karena masa remaja merupakan masa transisi dari masa kanak-kanak ke masa dewasa (Sofyan & Willis, 2005). Remaja adalah manusia yang sedang berada pada satu periode kehidupan puber tepatnya ketika seseorang berada pada masa transisi antara masa kanak-kanak dan masa pemulaan dewasa (Santrock, 2002). Menurut World Health Organization (WHO, dalam sarwono, 2002) mendefinisikan remaja lebih bersifat konseptual dengan tiga kriteria, yaitu biologis, psikologik, dan sosial ekonomi, dengan batasan usia antara 10-20 tahun.
Hendrianti (2009) secara umum membagi masa remaja menjadi tiga bagian, yaitu masa remaja awal, masa remaja pertengahan, dan masa remaja akhir. Masa remaja awal (usia 12-15 tahun) pada masa ini individu mulai meninggalkan peran sebagai anak-anak. Masa remaja pertengahan (usia 15-19 tahun) masa ini ditandai dengan berkembangnya kemampuan berfikir yang baru. Pada masa ini teman sebaya masih berperan penting namun individu sudah lebih mampu mengarahkan diri sendiri (self directed). Masa remaja akhir (usia 19-22 tahun) masa ini ditandai oleh persiapan akhir untuk memasuki peran-peran orang dewasa.  
Menurut Lerner dan Hultsch (1983, dalam Hendrianti, 2009 : 30) mengatakan terjadi proses perubahan dan interaksi antara beberapa aspek yang berubah selama masa remaja. Pertama, perubahan fisik, adalah perubahan biologis dan fsiologis yang berlangsung pada masa pubertas atau pada masa awal remaja, yaitu sekitar umur 11-15 tahun pada wanita dan 12-16 tahun pada pria. Kedua, perubahan emosional, yaitu akibat langsung dari perubahan fisik dan hormonal. Ketiga, perubahan kognitif, perubahan dalam kemampuan berfikir. Keempat, implikasi psikososial, adalah semua perubahan yang terjadi dalam kurun waktu yang singkat itu membawa akibat bahwa fokus utama dari perhatian remaja adalah dirinya sendiri. Perhatian remaja terhadap dirinya sendiri ini berkaitan dengan konsep diri.
Konsep diri menurut Hurlock (1979, dalam Ghufron & Rini, 2011 : 13) merupakan gambaran diri seseorang mengenai diri sendiri yang merupakan gabungan dari keyakinan fisik, psikologis, sosial, emosional aspiratif, dan prestasi yang mereka capai. Konsep diri merupakan cara individu memandang dirinya secara utuh, menyangkut fisik, emosi, intelektual, sosial dan spiritual (Sunaryo, 2013 : 32). Konsep diri terdiri dari lima komponen, meliputi gambaran diri (body image), ideal diri (self ideal), harga diri (self esteem), peran diri (self role), identitas diri (self identity). Menurut Ghufron dan Rini (2011 : 39) harga diri adalah tingkat penilaian yang positif atau negatif yang dihubungkan dengan konsep diri seseorang. Harga diri merupakan evaluasi seseorang terhadap dirinya sendiri secara positif dan juga sebaliknya dapat menghargai secara negatif. Adam dan Radford (dalam Zulfan & Sri, 2012) mengatakan apabila seseorang memiliki taraf harga diri tinggi, maka ia dapat menyusun konsep diri yang positif yang berkaitan dengan aktualisasi diri dan begitupun sebaliknya dengan seseorang yang memiliki taraf harga diri rendah.
Menurut Carpenito (2007) harga diri rendah adalah keadaan dimana individu mengalami atau berisiko mengalami evaluasi diri negatif tentang kemampuan diri. Ciri-ciri harga diri rendah menurut Zulfan dan Sri (2012) yaitu perasaan malu terhadap diri sendiri akibat penyakit atau tindakan, rasa bersalah terhadap diri sendiri, menyalahkan, mengkritik dan mengejek diri sendiri, merendahkan martabat, gangguan hubungan sosial, percaya diri kurang, sukar mengambil keputusan, mencederai diri, mudah marah, mudah tersinggung, apatis, bosan, jenuh dan putus asa, kegagalan menjalankan peran, dan proyeksi (menyalahkan orang lain). Faktor yang mempengaruhi harga diri adalah jenis kelamin, intelegensi, kondisi fisik, lingkungan sosial, dan lingkungan keluarga (Zulfan & Sri, 2012). Orang tua yang berperan sebagai keluarga memiliki peranan yang sangat menentukan perkembangan harga diri remaja.
Orang tua menurut Ghufron dan Rini (2011 : 40) adalah sebagai pengasuh dan pembimbing dalam keluarga yang berperan dalam meletakan dasar-dasar perilaku bagi anaknya. Dalam mengasuh anak-anaknya orang tua cenderung menggunakan pola asuh tertentu. Menurut kamus besar Bahasa Indonesia (2011) pola asuh terdiri dari dua kata, yaitu pola dan asuh. Pola berarti cocok, model, sistem, cara kerja, bentuk (struktur) yang tetap. Sedangkan kata asuh adalah menjaga (merawat dan mendidik), anak kecil, membimbing, dan memimpin satu badan atau lembaga. Pola asuh orang tua menurut Nurcahyani (2013)  diidentifikasikan melalui adanya perhatian orang tua dalam mengasuh dan menjalin hubungan interpersonal dengan anak yang didasari dengan adanya perhatian, penghargaan, dan kasih sayang. Setiap orang tua bertanggung jawab juga memikirkan dan mengusahakan agar senantiasa terciptakan dan terpelihara suatu hubungan antara orang tua dengan anak.
Boumrind (dalam Santrock, 2002) menekankan tiga tipe pola asuh yang dikaitkan dalam aspek-aspek yang berbeda dalam perilaku sosial anak. Pola asuh otoriter adalah suatu gaya pengasuhan membatasi dan menghukum yang menuntut anak untuk mengikuti perintah-perintah orang tua. Pola asuh otor otoritatif (demokratif) adalah gaya pengasuhan yang mendorong anak-anak agar mandiri tetapi masih menetapkan batas-batas dan pengendalian atas tindakan-tindakan anak. Dan pola asuh laissez-faire (permisif) adalah gaya pengasuhan pembiaran. Ketiga pola asuh ini memberikan sumbangan dalam mewarnai perkembangan terhadap harga diri anak terlebih lagi pada remaja.
Sekolah Menengah Pertama Negeri 12 Banjarmasin adalah sekolah yang berada di kota Banjarmasin provinsi Kalimantan Selatan. Terletak di Jl Ir PM Noor RT 008, Pelambuan, Banjarmasin Barat Kota Banjarmasin. Sekolah ini berada di dalam sebuah gang kecil yang cukup padat akan penduduk. Hasil studi pendahuluan yang dilakukan pada tangal 4 Desember 2013 melalui observasi dan wawancara pada 10 siswa, 5 orang mengatakan orang tuanya mempunyai sikap yang keras, suka memberi perintah, dan suka memberi hukuman. Kelima siswa ini sering mengatakan dia bodoh, dia tidak bisa, dia tidak tahu”. 3 orang siswa mengatakan orang tuanya baik, perhatian dan bermusyawarah. Ketiga siswa ini  mengatakan dia cukup percaya diri terhadap dirinya, dia senang dengan dirinya. 2 orang siswa lainnya mengatakan orang tuanya sangat sibuk, akan tetapi memberikan semua kemauannya. 1 dari 2 orang siswa tersebut mengatakan mudah tersinggung saat temannya mengejeknya. Sedangkan 1 orang siswa lagi mengatakan dia sangat percaya terhadap apapun.
Menurut Sunaryo (2013 : 35) harga diri rendah dapat diatasi dengan memberi kesempatan remaja untuk berhasil, memberi pengakuan dan pujian terhadap apa yang dikerjakannya. Tidak memberi tugas yang tidak dapat diselesaikan, serta tidak memberi hukuman pada remaja. Menanamkan gagasan yang dapat memotivasi kreatifitas anak untuk berkembang, mendukung aspirasi yang positif atau cita-cita remaja sehingga mereka memandang dirinya bermakna. Serta, menanggapi pertanyaan dan tanggapan anak dengan memberi penjelasan yang sesuai.
Berdasakan latar belakang di atas maka peneliti tertarik untuk meneliti “Hubungan pola asuh orang tua dengan harga diri pada remaja di Sekolah Menengah Pertama Negeri 12 Banjarmasin”.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan, maka suatu rumusan masalah dalam penelitian ini adalah “apakah ada hubungan pola asuh orang tua dengan harga diri pada remaja di SMP Negeri 12 Banjarmasin tahun 2014?”

1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1         Tujuan Umum
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan pola asuh orang tua dengan harga diri remaja di SMP Negeri 12 Banjarmasin tahun 2014.
1.3.2         Tujuan Khusus
                Tujuan khusus penelitian ini meliputi :
1.3.2.1 Mengidentifikasi pola asuh orang tua pada remaja di SMP Negeri 12 Banjarmasin tahun 2014.
1.3.2.2   Mengidentifikasi harga diri remaja di SMP Negeri 12 Banjarmasin tahun 2014.
1.3.2.3  Menganalisis hubungan pola asuh orang tua terhadap harga diri  pada remaja di SMP Negeri 12 Banjarmasin tahun 2014.
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini untuk memberikan informasi dalam perkembangan teori tentang hubungan pola asuh orang tua dengan harga diri remaja, serta dapat digunakan sebagai acuan untuk penelitian selanjutnya.
1.4.2 Manfaat Praktis
1.4.2.1 Bagi Remaja
Hasil dari penelitian ini dapat memberikan suatu wawasan agar remaja bersikap positif untuk kedepannya terhadap dirinya.
1.4.2.2 Bagi Keluarga
Hasil penelitian ini dapat menambah pengetahuan betapa pentingnya pengaruh orang tua pada anak.
1.4.2.3 Bagi Institusi Pendidikan
Hasil penelitian ini dapat memberikan informasi kepada institusi pendidikan terutama sekolah menengah mengenai hubungan pola asuh  orang tua dengan harga diri pada remaja, sehingga dapat dijadikan landasan dalam membentuk karakter anak.
1.4.2.4 Bagi Profesi Keperawatan
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan sebagai bahan tinjauan keilmuan dalam bidang manajemen keperawatan anak dan keperawatan jiwa.
1.5 Penelitian Terkait
Hasil penelusuran penulis, penelitian mengenai “Hubungan Pola Asuh Orang Tua Dengan  Harga Diri Pada Remaja Di SMP Negeri 12 Banjarmasin Tahun 2014” belum pernah diteliti sebelumnya. Adapun beberapa penelitian yang pernah diteliti antara lain :
 

1.5.1 Penelitian yang dilakukan oleh Lina (2008) dengan judul “Hubungan Pola Asuh Demokratis Orang Tua Dan Kemandirian Dengan Kemampuan Menyelesaikan Masalah Pada Remaja”. Hasil dari penelitian ini adalah adanya hubungan pola asuh demokratis orang tua dan kemandirian dengan kemampuan menyelesaikan masalah pada remaja.
1.5.2 Penelitian yang dilakukan oleh S. Fuad Baiquni (2012) dengan judul “Hubungan Pola Asuh Otoriter Orang Tua Dengan Kepribadian Introvert Pada Anak Di TK Tunas Harapan Kecamatan Karang Bintang Kabupaten Tanah Bumbu”. Hasil dari penelitian ini adalah adanya hubungan antarvariabel, yaitu adanya hubungan antara pola asuh otoriter orang tua dengan kepribadian introvert.
1.5.3 Penelitian yang dilakukan oleh Ahdiya (2013) dengan judul “Hubungan Antara Pola Asuh Orang Tua Dengan Kemandirian Anak Usia Pra Sekolah Di TK Islam Madinaturramlah Banjarmasin”. Hasil penelitian ini adalah adanya hubungan antarvariabel yaitu adanya hubungan antara pola asuh orang tua dengan kemandirian anak usia pra sekolah. 

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Dasar Remaja
2.1.1 Definisi Remaja
Remaja adalah manusia yang sedang berada pada satu periode kehidupan puber tepatnya ketika seseorang berada pada masa transisi antara masa kanak-kanak dan masa pemulaan dewasa (Santrock, 2002). Papilia (dalam Sarwono, 2007) remaja adalah pada saat perkembangan transisi dari masa anak-anak menuju masa dewasa dengan perubahan fisik, kognitif, dan psikososial. Menurut Desiani (2008) masa remaja adalah suatu peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa. Pada masa ini remaja merasakan adanya perubahan yang terjadi pada dirinya seperti perubahan fisik yang hampir menyerupai orang dewasa atau yang biasa disebut masa puber, perubahan sikap, perasaan atau emosi yang sering tanpa disadari oleh remaja itu sendiri seperti rasa malu, gembira, iri hati, sedih, takut, cemas, cemburu, kasih sayang dan rasa ingin tahu.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa masa remaja adalah masa peralihan dari anak-anak menuju dewasa yang ditandai dengan berbagai perubahan baik dari segi fisik, kognitif, dan psikososial.
2.1.2 Ciri-ciri Remaja
Knopka (1973, dalam Hendrianti, 2009) secara umum membagi masa remaja berdasarkan ciri usia, yaitu :


2.1.2.1 Masa remaja awal (usia 12-15 tahun)
Pada masa ini individu mulai meninggalkan peran sebagai anak-anak dan berusaha mengembangkan diri sebagai individu yang unik dan tidak tergantung pada orang tua. Fokus dari tahap ini adalah penerimaan terhadap bentuk dan kondisi fisik serta adanya konformitas pada teman sebaya.
2.1.2.2 Masa remaja pertengahan (usia 15-19 tahun)
Masa ini ditandai dengan berkembangnya kemampuan berfikir yang baru. Pada masa ini teman sebaya masih berperan penting namun individu sudah lebih mampu mengarahkan diri sendiri (self directed). Remaja juga mulai mengembangkan kematangan tingkah laku, belajar mengendalikan impulsitivitas, dan membuat keputusan-keputusan awal yang berkaitan dengan sekolah dan pekerjaan yang kelak ingin dia capai. Selain itu penerimaan dari lawan jenis menjadi penting bagi individu.
2.1.2.3 Masa remaja akhir (usia 19-22 tahun)
Masa ini ditandai oleh persiapan akhir untuk memasuki peran-peran orang dewasa. Remaja pada masa ini memiliki keinginan yang kuat untuk diterima dalam kelompok teman sebaya dan orang dewasa. Pada tahap ini remaja menjadi lebih matang.
2.1.3 Proses Perubahan Pada Masa Remaja
Proses perubahan pada masa remaja menurut Lerner dan Hultsch (1983, dalam Hendrianti, 2009 : 30) meliputi :
2.1.3.1 Perubahan fisik
Rangkaian perubahan yang paling jelas yang Nampak dialami oleh remaja adalah perubahan biologis dan fsiologis yang berlangsung pada masa pubertas atau pada masa awal remaja, yaitu sekitar umur 11-15tahun pada wanita dan 12-16 tahun pada pria tahun pada pria (Hurlock, 1973 : 20-21). Hormone-hormon baru diproduksi oleh kelenjar endokrin, dan ini membawa perubahan dalam cirri-ciri seks sekunder. Gejala ini memberikan isyarat bahwa fungsi reproduksi atau kemampuan untuk menghasilkan keturunan sudah mulai bekerja. Seiring dengan itu, berlangsung pula pertumbuhan yang pesat pada tubuh dan anggota-anggota tubuh untuk mencapai proporsi seperti orang dewasa. Seorang individu yang mulai terlihat berbeda dan sebagai konsekuensi dari hormone yang baru, dia sendiri mulai merasa adanya perbedaan.
2.1.3.2 Perubahan Emosional
Hormonal menyebabkan perubahan seksual dan menimbulkan dorongan-dorongan udan perasaan-perasaan yang baru. Keseimbangan hormonal yang baru menyebabkan individu merasakan hal-hal yang belum pernah dirasakan sebelumnya. Keterbatasannya untuk secara kognitif mengolah perubahan-perubahan baru tersebut bisa membawa perubahan besar dalam fluktasi emosinya.
2.1.3.3 Perubahan kognitif
Semua perubahan fisik yang membawa implikasi perubahan emosional tersebut semakin dirumitkan oleh fakta bahwa individu juga sedang mengalami perubahan kognitif. Perubahan dalam kemampuan berfikir ini diungkapkan oleh piaget (1972) sebagai tahap terakhir yang disebut sebagai formal operation dalam perkembangan kognitifnya.
2.1.3.4 Implikasi psikososial
Semua perubahan yang terjadi dalam kurun waktu yang singkat itu membawa akibat bahwa focus utama dari perhatian remaja adalah dirinya sendiri. Secara psikologis proses-proses dalam diri remaja semuanya tengah mengalami perbahan, dan komponen-komponen fisik, fisiologis, emosional, dan kognitif sedang mengalami perubahan besar. Sekarang dengan terbukanya kemungkinan bagi semua objek untuk dipikirkan dengan cara yang hipotesis, berbeda dan baru, dan dengan perubahan dirinya yang radikal, sepantasnya bagi individu untuk memfokuskan pada dirinya sendiri dan mencoba mengerti apa yang sedang terjadi.   
2.1.4 Permasalahan Pada Remaja
          Menurut Sofyan dan Willis (2005 : 55) permasalahan remaja, meliputi :
2.1.4.1 Masalah Penyesuaian Diri
Penyesuaian diri ialah kemampuan seseorang untuk hidup dan bergaul secara wajar terhadap lingkungannya., sehingga ia merasa puas terhadap dirinya dan terhadap lingkungan. Disamping penyesuaian terhadap diri sendiri adalagi beberapa jenis penyesuaian diri, seperti penyesuaian diri di dalam keluarga disini didalamnya ada penyesuaian diri yang lain. Pertama, terhadap orang tua yang keras (otoriter). Kedua, penyesuaian diri terhadap mata pelajaran, penyesuaian diri terhadap teman sebaya, penyesuaian diri terhadap lingkunagn fisik dan sosial sekolah. Ketiga, penyesuaian diri di masyarakat.
2.1.4.2 Masalah Beragama
Masalah agama pada remaja sebenarnya terletak pada tiga hal. Pertama, keyakinan dan kesadaran beragama, harus ditumbuhkan dengan sengaja sejak anak masih kecil. Kedua, pelaksanakan ajaran agama secara teratur. Ketiga, perubahan tingkah laku karena ajran agama.
2.1.4.3 Masalah kesehatan
Masalah kesehatan ialah masalah yang dihadapi sehubungan dengan kesehatan jasmani dan rohaninya. Khususnya di masa remaja, masalah kesehatan sering menjadi pusat pemikiran. Penyakit yang sering didengar adalah kecanduan alkohol dan obat-obatan terlarang (narkoba).
2.1.4.4 Masalah ekonomi dan mendapatkan pekerjaan
Masalah mendapatkan pekerjaan dan pemenuhan kebutuhan ekonomi, merupakan masalah yang cukup menggelisahkan para remaja.
2.1.4.5 Masalah perkawinan dan hidup berumah tangga
Masalah ini didasarkan atas kebutuhan seksual yang amat menonjol pada masa remaja, sehubungan dengan kemantangan organ seksual. Pada masa ini kadang timbul konflik antara dia dengan orangtuanyadalam soal memilih jodoh.
2.1.4.6 Masalah ingin berperan di masyarakat
Keinginan berperan di masyarakat bersumber dari motif ingin mendapat penghargaan (motif sosial). Kadang-kadang orang dewasa atau anggota masyarakat tidak menghiraukan keinginan berperan dalam masyarakat.
2.1.4.7 Masalah pendidikan
Masalah ini berhubungan dengan kebutuhan akan ilmu pengetahuan yang diperlukan para remaja dalam rangka mencapai kepuasaan ingin mengetahui hal-hal yang belum terungkapkan secara ilmiah.
2.1.4.8 Masalah mengisi waktu terluang
Waktu terluang ialah sisa waktu yang kosong setelah habis belajar dan bekerja.



2.1.4.9 Masalah pekerjaan dan pengangguran
2.1.4.10 Dampak pengangguran orang muda
Pengangguran orang muda terutama yang terdidik amat membahayakan bangsa dan negara. Sejak era reformasi makin banyak kejahatan yang dilakukan anak-anak muda usia.
2.1.4.11 Kebebasan seks
Kebebasan seks di kalangan remaja makin menggelisahkan. Pergaulan ala barat nampaknya memicu keinginan untuk bergaul bebas antara wanita dengan lelaki.

2.2 Konsep Diri
2.2.1 Definisi Konsep Diri
Konsep diri adalah cara individu memandang dirinya secara utuh, menyangkut fisik, emosi, intelektual, sosial dan spiritual. Selanjutnya konsep diri merupakan semua ide, pikiran, kepercayaan, dan pendirian yang diketahui individu tentang dirinya dan mempengaruhi individu dalam berhubungan dengan orang lain (Stuart & Sunden,1997, dalam Sunaryo, 2013 : 32). Konsep diri merupakan kesan terhadap diri sendiri secara keseluruhan yang mencakup pendapatnya terhadap diri sendiri, pendapat tentang gambaran diri di mata orang lain, dan pendapatnya tentang hal-hal yang dicapai (Burn, 1993, dalam Ghufron dan Rini : 2011 :13). Menurut Stuart dan Laraia (2005, dalam Deden & Rusdi, 2013 : 60) konsep diri adalah persepsi individu terhadap sifat dan kemampuannya, interaksi dengan orang lain dan lingkungan, nilai-nilai yang berkaitan dengan pengalaman dan obyek, tujuan serta keinginannya.

Dari beberapa definisi dapat ditarik kesimpulan bahwa harga diri adalah persepsi individu terhadap dirinya sendiri dan mempengaruhi dalam berhubungan dengan orang lain.
       2.2.2 Komponen Konsep Diri
Menurut Sunaryo (2013) komponen konsep diri meliputi,
2.2.2.1 Gambaran diri (Body image) adalah sikap individu terhadap tubuhnya, baik secara sadar maupun tidak sadar, meliputi penampilan, potensi tubuh, fungsi tubuh, serta persepsi, dan perasaan tentang ukuran dan bentuk tubuh.
2.2.2.2 Ideal diri (self ideal) adalah persepsi individu tentang perilakunya, disesuaikan dengan standar pribadi yang terkait dengan cita-cita, harapan, keinginan, tipe orang yang diidam-idamkan, dan nilai yang ingin dicapai.
2.2.2.3   Harga diri (self esteem) adalah penilaian individu terhadap hasil yang dicapai, dengan cara menganalisis seberapa jauh perilaku individu tersebut sesuai dengan ideal diri.
2.2.2.4   Peran diri  (self role) adalah pola perilaku, sikap, nilai, dan aspirasi yang diharapkan individu berdasarkan posisinya dimasyarakat. Setiap individu disibukan oleh berbagai macam peran yang terkait dengan posisinya pada setiap saat, selama ia masih hidup, misalnya sebagai anak, suami, ayah, mahasiswa, perawat, dokter, bidan, dosen, dan sebagainya.
2.2.2.5   Identitas diri (self identity) adalah kesadaran akan diri pribadi yang yang bersumber dari pengamatan dan penilaian, sebagai sintesis dari semua aspek konsep diri dan menjadi satu kesatuan yang utuh.


2.2.3 Rentang Respon Konsep Diri
Rentang respon konsep diri menurut Stuart dan Sundeen (1998 dalam Deden & Rusdi, 2013 : 61)

Respon                                                                                       Respon
Adaptif                                                                                      Maladaptif


   Aktualisasi   Konsep diri    Harga diri   Kerancuan   Dipersonalisasi
      Diri            Positif            rendah      identitas

2.2.3.1 Respon adaptif adalah respon yang dihadapi klien bila klien menghadapi suatu masalah dapat menyelesaikannya secara baik antara lain :
a. Aktualisasi diri
Pernyataan tentang konsep diri yang positif dengan latar belakang pengalaman sukses.
Menurut Ermawati, dkk (2009) Kesadaran akan diri berdasarkan konservasi mandiri termasuk persepsi masa lalu akan diri dan perasaannya.
b. Konsep diri positif
Apabila individu mempunyai pengalaman yang positif dalam perwujudan dirinya. Menurut Ermawati, dkk (2009) konsep diri positifmenunjukan individu akan sukses dalam menghadapi masalah.
2.2.3.3 Respon mal-adaptif adalah respon individu dalam menghadapi masalah dimana individu tidak mampu memecahkan masalah tersebut. Respon mal-adaptif gangguan konsep diri adalah :


a. Gangguan harga diri
Harga diri rendah : perasaan negatif terhadap diri sendiri, termasuk kehilangan rasa percaya diri, tidak berharga, tidak berdaya dan pesimis.
b. Kekacauan identitas
Kegagalan individu untuk mengintegrasikan berbagai identitas masa kanak-kanak kedalam kepribadian psikososial dewasa yang harmonis. Menurut Ermawati, dkk (2009) Identitas diri kacau atau tidak jelas sehingga tidak memberikan kehidupan dalam mencapai tujuan.
c. Dipersonalisasi (tidak mengenal diri)
Perasaan tidak realitik dalam kegiatan dari diri sendiri, kesulitan membedakan diri sendiri, merasa tidak nyata dan asing baginya. Menurut Ermawati, dkk (2009) dipersonalisasi yaitu tidak mengenal diri yaitu mempunyai kepribadian yang kurang sehat, tidak mampu berhubungan dengan orang lain secara intim. Tidak ada rasa percaya diri Dipersonalisasi : perasaan tidak realitik dalam kegiatan dari diri sendiri, kesulitan membedakan diri sendiri, merasa tidak nyata dan asing baginya.

2.3 Konsep Harga Diri
2.3.1 Definisi Harga Diri
Harga diri adalah penilaian atau evaluasi secara positif atau negatif terhadap diri (Deux, Dane, dan Wrightsman, 1992 dalam Sarlito 2009). Harga diri menunjukan keseluruhan sikap seseorang terhadap dirinya sendiri, baik positif maupun negatif (Baron, Byrne, Branscombe, 2006). Harga diri adalah hal yang penting bagi budaya individualis (Kwan, Bond, dan Singelis, 1997 dalam Baron, Byrne, Branscombe, 2006).
Menurut Minchinton (dalam Yulvira, 2012) self-esteem merupakan penilaian atau perasaan mengenai diri kita sendiri sebagai manusia baik berdasarkan penerimaan akan diri dan tingkah laku sendiri, maupun berdasarkan keyakinan akan bagaimana diri kita.
Dari beberapa definisi diatas dapat ditarik kesimpulan harga diri adalah penilaian terhadap diri sendiri baik positif maupun negatif.
2.3.2 Aspek Harga Diri
Moslow dan Globe (1994, dalam Yulvira, 2012) secara khusus mengemukakan aspek harga diri meliputi :
2.3.2.1 Rasa dianggap mampu dan berguna bagi orang lain, yaitu ditunjukkan oleh kemampuan individu bahwa dirinya merasa mampu dan memiliki sikap optimis dalam menghadapi masalah kehidupan.
2.3.2.2 Rasa dihormati, yaitu seseorang yang dihormati oleh orang lain merasa bahwa dirinya berharga, percaya diri serta mampu menghargai dirinya sendiri
2.3.2.3   Rasa dibutuhkan oleh orang lain, yaitu seseorang dibutuhkan oleh orang lain akan merasa dirinya diterima oleh lingkungannya.
Coopersmith (dalam Yulvira, 2012) menyebutkan empat aspek harga diri yang meliputi :
2.3.2.1 Nilai pribadi, yang diartikan sebagai harga diri ditentukan oleh nilai-nilai pribadi yang diyakini individu sebagai nilai-nilai yang sesuai dengan dirinya.
2.3.2.2 Kepemimpinan-popularitas, yaitu individu yang memiliki harga diri yang tinggi cenderung mempunyai popularitas dan kemampuan yang dituntut dalam kepemimpinan (leadership).

2.3.2.3 Penerimaan dari orang tua dan keluarga yang positif.
Prestasi, yaitu individu dengan harga diri yang tinggi cenderung memiliki karateristik kepribadian yang dapay mengarahkan pada kemandirian sosial dan kreativitas yang tinggi.
2.3.3 Faktor Yang Mempengaruhi Harga Diri
Menurut Ghufron dan Rini (2011 : 44) faktor yang mempengaruhi harga diri meliputi :
2.3.3.1 Faktor jenis kelamin
Menurut Ancok dkk (1968) wanita selalu merasa harga dirinya lebih rendah daripada pria seperti perasaan kurang mampu. Kepercayaan diri yang kurang mampu, atau merasa harus dilindungi. Hal ini mungkin terjadi karena peran orang tua dan harapan-harapan masyarakat yang berbeda-beda baik pada pria maupun wanita. Coopersmith (1967) membuktikan bahwa harga diri wanita lebih rendah daripada pria.
2.3.3.2 Intelegensi
Intelegensi sebagai gambaran lengkap kapasitas fungsional individu sangat erat berkaitan dengan prestasi karena pengukuran intelegensi selalu berdasarkan kemampuan akademis. Menurut Coopersmith (1967) individu dengan harga diri yang tinggi akan mencapai prestasi akademik yang tinggi daripada individu dengan harga diri yang rendah. Selanjutnya, dikatakan individu dengan harga diri yang tinggi memiliki skor intelegensi yang lebih baik, taraf aspirasi yang lebih baik, dan selalu berusaha keras.
2.3.3.3 Kondisi fisik
Coopersmith (1967) menemukan adanya hubungan yang konsisten antara daya tarik fisik dan tinggi badan dengan harga diri. Individu dengan kodisi fisik yang menarik cenderung memiliki harga diri yang lebih dibandingkan dengan kondisi fisik yang kurang menarik.
2.3.3.4 Lingkungan keluarga
Peran keluarga sangat menentukan bagi perkembangan harga diri anak. Dalam keluarga, seorang anak untuk pertama kalinya mengenal orang tua yang mendidik dan membesarkannya serta sebagai dasar untuk bersosialisasi dalam lingkungan yang lebih besar. Keluarga harus menemukan suatu kondisi dasar untuk mencapai perkembangan harga diri anak yang baik.
2.3.3.5 Lingkungan Sosial
Klass dan Hodge (1978) berpendapat bahwa pembentuk harga diri dimulai dari seseorang yang menyadari dirinya berhasil atau tidak. Hal ini merupakan hasil dari proses lingkungan, penghargaan, penerimaan, dan perlakuan orang lain kepadanya.
2.3.4 Klasifikasi Harga Diri
Sarandria (2012) mengkasifikasikan harga diri menjadi dua bagian, yaitu harga diri tinggi dan harga diri rendah.
2.3.4.1 Harga Diri Tinggi
a. Konsep Harga Diri Tinggi
Bourney dan Savary (1994, dalam Ghufron & Rini, 2011) mengatakan bahwa harga diri tinggi adalah orang yang mengenal dirinya sendiri dengan segala keterbatasannya, merasa tidak malu atas keterbatasan yang dimiliki, memandang keterbatasan sebagai suatu realitas dan menjadikan keterbatasan itu sebagai tantangan untuk berkembang. Harga diri tinggi adalah kemampuan untuk melihat diri sendiri berharap, berkemampuan, penuh kasih sayang yang memiliki bakat-bakat pribadi yang khas serta kepribadian yang berharga dalam hubungannya dengan orang lain.
b. Ciri-ciri harga diri tinggi
Menurut Branden (1987, dalam Ghufron & Rini, 2011) ciri-ciri harga diri tinggi meliputi :
1)      Mampu menanggulangi kesengsaraan dan kemalangan hidup, lebih tabah dan ulet, lebih mampu melawan suatu kekalahan, kegagalan, dan keputusasaan.
2)      Cenderung lebih berambisi.
3)      Memiliki kemungkinan untuk lebih kreatif dalam pekerjaan dan sebagai sarana untuk menjadi lebih berhasil.
4)      Memiliki kemungkinan untuk lebih dalam dan besar dalam membina hubungan interpersonal (tampak) dan tampak lebih gembira dalam menghadapi realitas.
2.3.4.2 Konsep Harga Diri Rendah
a.  Definisi Harga Diri Rendah
Menurut Carpenito tahun 2007 (dalam Nita Fitria, dkk, 2013) harga diri rendah adalah keadaan dimana individu mengalami/berisiko mengalami evaluasi diri negatif tentang kemampuan diri. Harga diri rendah merupakan perasaan negatif terhadap diri sendiri termasuk kehilangan rasa percaya diri, tidak berharga, tidak berguna, tidak berdaya, pesimis, tidak ada harapan dan putus asa ( Depkes RI, 2000). Harga diri rendah adalah evaluasi diri dan perasaan tentang diri atau kemampuan diri yang negatif, dapat secara langsung atau tidak langsung di ekspresikan.
Dari beberapa definisi tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa  harga diri rendah adalah penilaian dan perasaan yang negatif terhadap diri sendiri
                             b. Tanda dan gejala Harga Diri Rendah
Menurut Zulfan dan Sri (2012) menyebutkan tanda dan gejala harga diri rendah sebagai berikut :
1.      Perasaan malu terhadap diri sendiri akibat penyakit atau tindakan, misal : malu karena alopesia stelah dilakukan tindakan kemoterapi.
2.      Rasa bersalah terhadap diri sendiri, menyalahkan, mengkritik dan mengejek diri sendiri.
3.      Merendahkan martabat : saya tidak bisa, saya bodoh, saya tidak tahu apa-apa, saya tidak mampu.
4.      Gangguan hubungan sosial.
5.      Percaya diri kurang, sukar mengambil keputusan.
6.      Mencederai diri.
7.      Mudah marah, mudah tersinggung.
8.      Apatis, bosan, jenuh dan putus asa.
9.      Kegagalan menjalankan peran, proyeksi (menyalahkan oranglain
2.3.5 Perbedaan Harga Diri Tinggi dan Harga Diri Rendah
                        Tabel 2.1 Aspek Self esteem menurut Minchinton
Aspek
Self-esteem Tinggi
Self-esteem Rendah
Perasaan mengenai diri sendiri
a.    Menerima dirinya sendiri dengan segala kelebihan dan kekurangan yang dimiliki
b.    Dapat menghargai dirinya  sendiri sebagai seorang manusia tanpa terpengaruh oleh pendapat dari orang lain. Meskipun Ia mendapat kritik dari orang lain, ia tidak akan merasa rendah diri.
c.    Mampu mengontrol emosi dan bebas dari perasaan negatif yang berlebihan.
d.    Mampu mengekspresikan dirinya, serta merefleksikan berbagai kemampuan positif yang dimiliki emosi, sehingga sering merasa moody.
a.    Cenderung terfokus pada kekurangan atau kelemahan yang dimilikinya dan kurang berfikir mengenai kelebihan atau kekuatan yang dimiliki.
b.   Takut menerima opini yang negatif dari orang lain.
c.    Tidak dapat mengendalikan emosi, sehingga sering merasa moody.
d.   Merasa takut untuk mencoba, tidak mau berusaha, dan seringkali meragukan kemampuan yang dimilikinya.
Perasaan mengenai kehidupan
a.    Dapat menerima kenyataan dan tidak menyalahkan siapapun atas permasalahan yang dihadapi. Memiliki tujuan dan harapan yang realistis serta dapat bertanggung jawab atas segala pilihan dan keputusan yang telah dibuat.
b.    Semakin mampu melihat berbagai tantangan yang berguna bagi dirinya.
c.    Semakin siap untuk bangkit kembali setelah mengalami suatu kegagalan.
a.    Merasa bahwa segala peristiwa yang dialami terjadi diluar kendalinya, individu tidak mau mengakui kesalahan, bahkan cenderung menyalahkan pihak lain atas permasalan yang dihadapinya.
b.   Tidak berani mencari tantangan baru dalam hidupnya, lebih senang menghadapi hal-hal yang sudah ia kenal dengan baik serta menyenangi hal-hal yang tidak penuh tuntutan.
c.    Mengambil sikap mundur bila mengalami suatu kegagalan.
Perasan mengenai hubungan dengan orang lain
a.    Memiliki toleransi dan rasa penghargaan terhadap semua orang dan bersikap wajar dalam memperlakukan orang lain.
b.    Memiliki kejujuran, keterbukaan, dan kemampuan yang baik dalam berkomunikasi dengan orang lain.
a.    Merasa tidak nyaman bila berada di tengah-tengah orang lain. Tidak dapat bersikap ramah terhadap orang lain. Seringkali individu akan bersikap malu-malu atau bahkan defensive terhadap orang lain.
b.   Cenderung takut menghadapi respon dari orang lain, sehingga dalam berkomunikasi cenderung menampilkan sikap mengelak atau malu-malu.

Menurut A. Aziz Alimul Hidayat (2007), skala yang digunakan untuk mengukur sikap adalah dengan skala Likert, yaitu tentang pendapat atau persepsi seseorang tentang gejala atau masalah yang dialami. RSES adalah alat ukur yang dikembangkan oleh Morris Rosenberg (1965). RSES adalah alat ukur yang paling banyak digunakan untuk mengukur self esteem secara umum, dalam skala likert satu sampai empat, dengan rentang skor antara 0-30. Setengah dari item merupakan ekspresi positif, dan setengahnya lagi merupakan ekspresi negatif atau dapat dikatakan skor 1-15 merupakan harga diri rendah dan skor 16-30 merupakan harga diri tinggi (Sarandria, 2012).


Tabel 2.2 Skala Rosenberg
Pernyataan Positif
Skor
Sangat Setuju
3
Setuju
2
Tidak Setuju
1
Sangat Tidak Setuju
0
Nilai





Pernyataan Negatif
Skor
Sangat Setuju
0
Setuju
1
Tidak Setuju
2
Sangat Tidak Setuju
3
Nilai


2.4 Konsep Pola Asuh
2.4.1 Definisi Pola Asuh
Pola asuh adalah asuhan yang diberikan ibu atau pengasuh lain berupa sikap, dan perilaku dalam hal kedekatannya dengan anak, memberikan makanan, merawat, menjaga kebersihan, memberi kasih sayang, dan sebagainya (Soekirman, 2000, dalam Bety, 2012 : 162). Menurut Casmini (2007, dalam Bety, 2012 :162) pola asuh adalah bagaimana orang tua memperlakukan anak, mendidik, membimbing, dan mendisiplinkan anak, dalam mencapai proses kedewasan hingga pada upaya pembentukan norma-norma yang diharapkan masyarakat pada umumnya. Menurut Aisyah (2010) pola asuh orang tua merupakan interaksi antara anak dan orang tua selama mengadakan kegiatan pengasuhan.
Dari beberapa definisi pola asuh diatas dapat ditarik kesimpulan pola asuh adalah Cara orang tua dalam membimbing dan mendidik anak serta memberikan perlindungan dan kasih sayang untuk perkembangan anak yang lebih baik.
      2.4.2 Tipe Pola Asuh
Gaya pengasuhan Baumrind (dalam Santrock, 2011 :103)  menggambarkan empat jenis gaya pengasuhan.
2.4.2.1 Pengasuhan otoriter (authoritarian) adalah membatasi dan menghukum ketika orang tua memaksa anak-anak untuk mengikuti arahan mereka dan menghormati pekerjaan serta upaya mereka. Orang tua otoriter menempatkan batasan-batasan dan kontrol yang tegas pada anak dan memungkinkan sedikit pertukaran verbal. Sebagai contoh, orang tua yang otoriter mungkin berkata, “kamu lakukan dengan cara saya atau tidak”. Orang tua otoriter juga mungkin sering memukul, menegakan aturan-aturan kaku, tetapi tidak menjelaskan kepada mereka, anak dan menunjukan kemarahan kepada anak. Anak-anak dari orang tua otoriter sering tidak bahagia, takut, dan ingin membandingkan dirinya dengan orang lain, gagal untuk memulai aktifitas dan memeliki kemampan komunikasi yang lemah. Anak laki-laki dari orang tua otoriter dapat berperilaku agresif.
2.4.2.2    Pengasuhan otoritatif (authoritative) mendorong anak-anak untuk menjadi mandiri, tetapi masih menempatkan batasan dan kontrol atas tindakan mereka. Komunikasi verbal memberi dan menerima secara ekstensif diperbolehkan, dan orang tua hangat dan nurturant terhadap anak-anak. Orang tua yang otoritatif dapat memeluk anak dengan cara uang menghibur anak dan berkata,, “kamu tahu bahwa kamu tidak seharusnya melakukan hal tersebut, yuk, kita mengobrol tentang bagaimana caranya biar kamu bisa menangani situasi itu dengan lebih baik lain kali”. Orang tua yang otoritatif menunjukan kegembiraan dan dukungan dalam menanggapi perilaku anak-anak yang konstruktif. Mereka juga mengharapkan perilaku dewasa, mandiri, dan sesuai umur oleh anak-anak mereka. Anak-anak yang orang tuanya otoritatif sering gembira, terkendali, dan mandiri, serta berorientasi pada prestasi, merekacenderung memelihara hubungan yang bersahabat dengan teman sebaya, bekerja sama dengan orang dewasa, dan menangani stress dengan baik.
2.4.2.3    Pengasuhan lalai (neglectful) meruapakan gaya orang tua sangat tidak terlibat dalam kehidupan anak. Anak-anak yang orang tuanya lalai mengembangkan rasa bahwa aspek lain kehidupan orang tua lebih penting dari pada mereka. Anak-anak tersebutcenderung tidak kompeten secara sosial. Banyak orang yang miskin dalam pengendalian diri dan kurang mandiri. Mereka sering memiliki harga diri yang rendah dan tidak matang, serta mungkin terasing dari keluarga. Pada masa remaja mereka mungin menunjukan pola membolos, dan kenakalan.
2.4.2.4 Pengasuhan permisif (indulgent) merupakan sebuah gaya pengasuhan ketika orang tua sangat terlibat dengan anak-anak mereka, tetapi menempatkan beberapa tuntutan atau kontrol atas mereka. Orang tua seperti ini membiarkan anak-anak mereka melakukan apa yang mereka inginkan. Hasilnya adalah bahwa anak-anak mereka tidak pernah belajar untuk mengendalikan diri perilaku mereka sendiri dan selalu mengharapkan untuk mendapatkan keinginan mereka. Beberapa orang tua sengaja membesarkan anak-anak mereka dengan cara ini karena mereka percaya kombinasi dari keterlibatan, hangat dan beberapa batasan akan menghasilkan anak yang kreatif dan percaya diri. Namun, anak-anak yang orang tuanya permisif jarang belajar untuk menghormati orang lain, dan mengalami kesulitan mengendalikan perilakumereka. Mereka mungkin mendominasi, egosentris, patuh dan kesulitan dalam hubungan teman sebaya.
Menurut Casmini (2007 dalam Bety, 2012) gaya pengasuhan terbagi menjadi:
2.4.2.1 Otoriter (Authorian)
Pola ini menggunakan pendekatan yang memaksakan kehendak orang tua kepada anak. Anak harus menurut kepada orang tua. Keinginan orang tua harus dituruti, anak tidak boleh mengeluarkan pendapat. Pola asuh ini dapat mengakibatkan anak menjadi penakut, pencemas, menarik diri dari pergaulan, kurang adaptif, kurang tajam, kurang tujuan, curiga kepada orang lain, dan mudah stress.
2.4.2.2 Permisif
Orang tua serba membolehkan anak berbuat apa saja. Orang tua memiliki kehangatan, dan menerima apa adanya. Kehangatan cenderung memanjakan, ingin dituruti keinginannya. Sedangkan menerima apa adanya cenderung memberikan kebebasan kepada anak untuk berbuat apa saja. Pola asuh ini dapat menyebabkan anak agresif, tidak patuh pada orang tua, sok kuasa, kurang mampu mengontrol diri.
2.4.2.3 Demokratis (Authoritative)
Orang tua sangat memperhatikan kebutuhan anak, dan mencukupinya dengan pertimbangan faktor kepentingan dan kebutuhan. Pola asuh ini dapat mengakibatkan anak mandiri, mempunyai kontrol diri, mempunyai kepercayaan diri yang kuat, dapat berinteraksi dengan teman sebayanya dengan baik, mampu mengahadapi stress, mempunyai minat terhadap hal-hal yang baru, kooperatif dengan orang yang dewas, penurut, patuh, dan berorientasi pada prestasi.
a.       Syarat pola asuh authoritative
1)                  Utamakan kehangatan atau kasih sayang yang mendalam. Kehangatan menjadi sangat penting karena tanpa adanya hal itu penerapan pola asuh authoritative semakin tidak gampang, terutama pada anak-anak yang tergolong sulit, dan slow to warm up. Kehangatan akan lebih menenangkan hati anak dengan kedua tipe tempramen ini sehingga ladar negatifnya turun.
2)                  Memberlakukan batasan orang tua harus tegas dan konsisten sehingga anak akhirnya belajar bahwa orang tuanya tidak bermain-main dengan aturan yang sudah ditetapkan.
3)                  Orang tua tidak boleh memaksakan kehendaknya. Ada rambu-rambu yang harus ditaati oleh orang tua dan anak. Selama masih menginjak usia balita, bila anak menolak rambu-rambu yang sudah ditetapkan maka dia jangan dipaksa mematuhinya. Cobalah cari alternatifnya dengan memakai penjelasan berbeda. Namun anak-anak usia sekolah umumnya sedah dapat diajak berbicara atau berdiskusi tentang rambu-rambu ini, sehingga penerapannya menjadi lebih mudah. Hendaknya orang tua sudah mempersiapkan alasan-alasan yang dapat diterima anak. Yaitu alasan yang tidak terlalu mengada-ada.
4)                  Dalam mengasuh dan membesarkan anak yang termasuk mudah, orang tua jangan sampai mengabaikan anak. Hal ini umumnya sering terjadi pada orang tua yang memiliki anak-anak dengan dua tipe berbedan misalnya yang satu termasuk tipe sulit, dan yang lain mudah. Ayah dan ibu lebih memperhatikan anak yang sulit, dan selalu berusaha menenangkannya.
2.4.3 Faktor Yang Mempengaruhi Pola Asuh
Wong (2001, dalam Supartini, 2004) mengatakan faktor-faktor yang mempengaruhi pola asuh orang tua sebagai berikut.
2.4.3.1 Pendidikan Orang Tua
Pendidikan diartikan sebagai pengaruh lingkungan atas individu untuk menghasilkan perubahan-perubahan yang tetap atau permanen didalam kebiasaan tingkah laku, pikiran dan sikap. Edwards (2006) menyimpulkan bahwa pendidikan orang tua dalam perawatan anak akan mempengaruhi persiapan mereka menjalankan pengasuhan. Ada beberapa cara yang dapat dilakukan untuk menjadi lebih siap dalam menjalankan peran pengasuhan antara lain: mengamati segala sesuatu dengan berorientasi pada masalah anak, selalu berupaya menyediakan waktu untuk anak-anak, menilai perkembangan fungsi keluarga dan kepercayaan anak dan terlibat aktif dalam setiap pendidikan anak.
2.4.3.2 Usia Orang Tua.
Tujuan undang-undang perkawinan salah satunya adalah memungkinkan pasangan untuk siap secara fisik maupun psikososial dalam membentuk rumah tangga dan menjadi orang tua. Usia antara 17 tahun untuk wanita dan 19 tahun untuk laki-laki mempunyai alasan kuat dalam kaitannya dengan kesiapan menjadi orang tua. Walaupun demikian, rentang usia tertentu adalah baik untuk menjalankan peran pengasuhan. Apabila terlalu muda atau terlalu tua, mungkin tidak dapat menjalankan peran tersebut secara optimal karena diperlukan kekuatan fisik dan psikososial.
2.4.3.3 Keterlibatan Ayah
Peran ayah dalam keluarga telah berubah dramatis dari generasi lalu jika dibandingkan dengan generasi orang-orang tua dahulu. Perubahan tersebut biasanya menyenangkan bagi para ibu dan juga para ayah itu sendiri (Rimm, 2003).
2.4.3.4 Pengalaman Sebelumnya dalam Mengasuh Anak
Orang tua yang sudah mempunyai pengalaman sebelumnya dalam mengasuh anak akan lebih siap menjalankan peran pengasuhan, selain itu orang tua akan lebih mampu mengamati tanda-tanda pertumbuhan dan perkembangan yang normal.

















2.5 Kerangka Konsep
Kerangka konsep merupakan model konseptual yang berkaitan dengan bagaimana seorang peneliti menyusun teori atau menghubungkan secara logis beberapa faktor yang dianggap penting untuk masalah (Hidayat, 2014 : 37).
Kerangka konsep penelitian ini adalah sebagai berikut.

Pola asuh orang tua :
a.       Otoriter (Autoritarian)
b.      Demokratif (Autoritative)
c.       Permisif
Harga diri remaja
Harga diri tinggi
Harga diri rendah
 








Gambar 2.5 Kerangka Konsep






2.6 Hipotesis
Hipotesis berasal dari kata hipo (lemah) dan tesis (pernyataaan), yaitu suatu pernyataan yang masih lemah dan membutuhkan pembuktian untuk menegaskan apakah hipotesis tersebut dapat diterima atau ditolak, berdasarkan fakta atau data empiris yang telah dikumpulkan dalam penelitian (Hidayat, 2014).
Hipotesis penelitian ini adalah ada hubungan antara pola asuh orang tua dengan harga diri pada remaja di SMP Negeri 12 Banjarmasin.














BAB 3
METODELOGI PENELITIAN

3.1 Jenis dan Rancangan Penelitian
Berdasarkan tujuan penelitian maka desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah analitik deskriptif dengan pendekatan cross sectional, yaitu suatu penelitian pada beberapa populasi diamati pada waktu yang sama atau sekali waktu (Hidayat, 2014)
3.2 Definisi operasional
Data operasional adalah uraian tentang batasan variabel yang dimaksud atau tentang apa yang diukur oleh varibel yang bersangkutan. Definisi operasional ini penting dan diperlukan agar pengukuran atau pengukuran data itu konsisten antara sumber data (responden) yang satu dengan yang lain. Disamping variabel harus didefinisi operasionalkan juga perlu dijelaskan cara atau metode penguukuran yang digunakan. Untuk memudahkan, biasanya definisi operasional itu disajikan dalam bentuk “matrix” yang terdiri dari kolom-kolom (Notoatmodjo, 2010).










Tabel 3.1 Definisi Operasional
No
Variabel
Definisi
Operasional
Parameter
Alat Ukur
Skala
Kategori
1
Variabel Independen
Pola Asuh Orang Tua
Cara orang tua dalam membimbing dan mendidik anak serta memberikan perlindungan dan kasih sayang untuk perkembangan anak yang lebih baik.
a.  Authoritarian (otoriter).
b. Autoritatifve.
c.  Permisive
Kuesioner
Ordinal
a.  Otoriter, apabila jawaban a lebih dominan dari jawaban b dan c.
b.  Permisif, apabila jawaban b lebih dominan dari jawaban a dan c.
c.  Demokratis, apabila jawaban c lebih dominan dari jawaban a dan b

2.






Variabel Dependen Harga Diri Remaja




Penilaian terhadap diri sendiri baik positif maupun negatif



a. Rasa dianggap mampu dan berguna bagi orang lain
b.Rasa dihormati
c. Rasa dibutuhkan oleh orang lain
Kuesioner






Ordinal





a.  Harga diri rendah, apabila nilai 0-15
b.Harga diri tinggi, apabila nilai 16-30







3.3 Populasi, Sampel dan Sampling
3.3.1 Populasi penelitian
Menurut Sugiyono (2004 dalam Hidayat, 2014) Populasi merupakan wilayah generalisasi yang terdiri atas : objek/subjek yang mempunyai kuantitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya. Populasi pada penelitian ini adalah siswa kelas VIII Sekolah Menengah Pertama Negeri 12 Banjarmasin pada tahun 2014 dengan jumlah siswa sebanyak 302 orang siswa.
3.3.2 Sampel
Sampel merupakan bagian populasi yang akan diteliti atau sebagian jumlah dari karakteristik yang dimiliki oleh populasi (Hidayat, 2014). Pada penelitian ini jumlah sampel adalah 75 siswa atau sebagian dari jumlah populasi kelas VIII di Sekolah Menengah Pertama Negeri 12 Banjarmasin.
3.3.2.1 Cara pengambilan sampel
Jumlah sampel penelitian ini adalah sebagai berikut :
n =
n =    
n = 75,12  =75
Berdasarkan perhitungan diatas maka jumlah sampel dalam penelitian ini sebanyak 75 orang.
Keterangan : N = Besar Populasi
                                       n  = Besar Sampel
                                       d =Tingkat kepercayaan yang diinginkan (0,1)

3.3.3 Sampling
3.3.3.1 Besar sampel
Teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah probability sampling, dan menggunakan teknik Simple Random Sampling yaitu pengambilan anggota sampel dari populasi secara acak tanpa memperhatikan strata yang ada dalam populasi ini. Cara demikian dilakukan jika anggota populasi dianggap homogen (Sumiati,dkk, 2009). Berdasarkan teori tersebut maka langkah pertama dalam pengambilan sampel adalah mengumpulkan seluruh absensi nama siswa setiap kelas. Kemudian dibuat undian, selanjutnya diundi sampai mendapatkan 75 sampel secara acak untuk dijadikan responden.
3.4 Tempat dan waktu penelitian
3.4.1 Tempat Penelitian
Penelitian ini dilakukan di SMP Negeri 12 Banjarmasin.
3.4.2 Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Desember 2013 sampai dengan bulan Juli 2014.
3.5 Instrumen dan Teknik Pengumpulan Data
3.5.1 Teknik pengumpulan data
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan instrument penelitian yaitu kuesioner. Pengisian kuesioner terlebih dahulu mendapat persetujuan dari responden untuk kesediaannya menjadi responden yang terlibat dalam penelitian.
3.5.2 Instrument pengumpulan data
Instrument yang digunakan berupa kuesioner dibuat oleh Ahmad Farid dan Rosenbergyang telah dimodifikasi.

3.5.2.1 Kuesioner pola asuh orang tua
Kuesioner pola asuh orang tua diambil dari skala yang dibuat oleh Ahmad farid 2013 yang terdiri dari 10 pertanyaan. Cara menjawab kuesioner dengan memilih salah satu jawaban yang dianggap benar dengan memberi tanda silang (x). Pilihan yang lebih dominan menjadi kategori Pola Asuh yang diterapkan oleh orang tuanya.
Tabel 3.3 Kisi-kisi kuesioner pola asuh
Kategori
Pilihan jawaban
Demokratis
Permisif
Otoriter
A
B
C

3.5.2.2 Kuesioner harga diri remaja
Kuesioner harga diri diambil dari skala baku Rosenberg,  yang terdiri dari 10 pertanyaan dengan item jawaban “sangat sesuai, sesuai, tidak sesuai, dan sangat tidak sesuai” dengan memberi tanda checklist ( √ ). Skor 0-15 dikatakan dengan  harga diri rendah dan skor 16-30 dikatakan dengan harga diri tinggi.
 Tabel 3.4 Kisi-kisi kuesioner harga diri
No.
Kategori
Nomor item
Jumlah
1.
2.
Kepercayaan diri
Penurunan kepercayaan diri
1,3,4,7,8,10
2,5,6,9
6
4

Pada penelitian ini kuesioner disusun dengan menggunakan format skala likert, karena skala ini memang digunakan untuk mengukur opini, keyakinan, dan sikap. Skor pada tiap item terentang dari 0 hingga 3 dimana :
Skor 0 menunjukan Sangat Setuju (SS)
Skor 1 menunjukan Setuju (S)
Skor 2 menunjukan Tidak Setuju (TS)
Skor 3 menunjukan Sangat Tidak Setuju (STS)
3.6 Uji Validitas dan Realibilitas
Kuesioner pola asuh orang tua dan harga diri sebelum dibagikan untuk penelitian, kuesioner ini akan dilakukan uji validitas dan realibilitas. Menurut Budiman dan Riyanto (2013) uji validitas adalah suatu ukuran yang menunjukkan tingkat-tingkat validitas atau kesahihan suatu instrumen. Reliabilitas adalah indeks yang menunjukkan sejauh mana suatu alat pengukur dapat dipercaya atau dapat diandalkan.
3.6.1 Uji Validitas
Uji validitas diperlukan untuk melihat apakah butir-butir pertanyaan pada kuesioner sudah tepat menguji apa yang menjadi tujuan penelitian. Pengujian validitas dengan bantuan program aplikasi komputer Statistical Product and Service Solution (SPSS) melalui uji Pearson Product Moment yang menghasilkan nilai korelasi, pada kuesioner ini dikatakan valid jika diketahui rhitung >rtabel.
3.6.2 Reliabilitas
Untuk mengetahui reliabilitas kuesioner dapat dilihat nilai alpa cronbach, dimana kuesioner penelitian sudah realibil jika nilai alpa cronbach > 0,60 (Budiman & Riyanto, 2013).
3.7 Teknik Pengambilan Data
Pengambilan data dilakukan dengan teknik membagikan kuesioner dan teknik observasi kepada responden dengan langkah-langkah sebagai berikut:
3.7.1   Meminta surat izin dari STIKES Muhammadiyah Banjarmasin tentang rekomendasi melakukan penelitian di SMP Negeri 12 Banjarmasin.
3.7.2   Setelah mendapat persetujuan dari SMP Negeri 12 Banjarmasin peneliti melakukan penelitian terhadap responden dengan terlebih dahulu memberikan penjelasan tentang maksud dan tujuan penelitian.
3.7.3 Memberikan lembar persetujuan untuk menjadi responden dan jika responden menyetujui untuk jadi responden kemudian diminta untuk menandatangani persetujuan untuk menjadi responden
3.7.4 Pengumpulan data dilakukan dengan memberikan kuisioner kepada responden untuk diisi.
3.7.5   Peneliti menunggu hingga responden selesai menjawab seluruh pertanyaan.
3.7.6   Pada responden yang kurang memahami pengisian kuesioner, maka oleh peneliti dengan membantu responden menjelaskan sesuai isi kuesioner dengan penjelasan seperlunya dan diminta memilih jawaban sesuai point yang ada dan dituliskan oleh peneliti menurut pilihan responden sesuai apa adanya.
3.7.7   Kuesioner dan lembar observasi yang telah diisi, kemudian dikumpulkan dan diperiksa kelengkapannya oleh peneliti, kemudian dilakukan analisis.
3.8 Jenis dan Sumber Data
3.8.1 Data primer
Data primer disebut juga data tangan pertama. Data primer diperoleh langsung dari subjek penelitian dengan mengenakan alat pengukuran atau alat pengambil data, langsung pada subjek sebagai sumber informasi yang dicari (Saryono & Anggraini, 2013). Data primer dalam penelitian ini berupa pola asuh orang tua dan harga diri pada remaja. . Data ini diperoleh langsung dari siswa SMP Negeri 12 Banjarmasin.
3.8.2 Data sekunder
Data sekunder disebut juga data tangan kedua. Data sekunder adalah data yang diperoleh lewat pihak lain, tidak langsung diperoleh oleh peneliti dari subjek penelitian. Biasanya berupa data dokumentasi atau data laporan yang telah tersedia (Saryono & Anggraini, 2013). Data sekunder dalam penelitian ini berupa jumlah siswa SMP Negeri 12 Banjarmasin.
3.9 Teknik Pengolahan dan Analisa Data
      3.9.1 Teknik pengolahan data
Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan komputer. Langkah-langkah pengolahan data yang dilakukan adalah sebagai berikut :
3.9.1.1 Editting, yaitu untuk pengecekan dan perbaikan isian formulir atau kuesioner.
3.9.1.2 Coding, yaitu kegiatan pemberian kode numeric (angka) terhadap data yang terdiri atas beberapa kategori.
3.9.1.3 Entri data
Data entri adalah kegiatan memasukkan data yang telah dikumpulkan ke dalam master tabel atau databse komputer, kemudian membuat distribusi frekuensi sederhana atau bisa juga dengan membuat tabel kontingensi.
3.9.1.4 Melakukan teknik analisis
Dalam melakukan analisis, khususnya terhadap data penelitian akan menggunakan ilmu statistik terapan yang disesuaikan dengan tujuan yang hendak dianalisis.
3.9.2 Teknik Analisa Data
Analisa data yang digunakan dalam penelitian ini adalah menganalisa hubungan antara pola asuh orang tua dengan harga diri remaja di SMP Negeri 12 dengan jumlah sampel 75 siswa dari jumlah populasi 392 siswa. Teknik analisa yang dilakukan dengan :
3.9.2.1 Penyusunan data : hal ini dilakukan untuk memudahkan penilaian dan pengecekan apakah semua data yang diperlukan untuk mencapai tujuan penelitian itu sudah lengkap.
3.9.2.2 Klasifikasi data : mengelompokan data yang diperoleh disesuaikan dengan permasalahan dan tujuan penelitian.
3.9.2.3    Analisa data
a. Analisa Univariat
Dilakukan terhadap tiap variabel yaitu variabel independen pola asuh orang tua, dan variabel dependen harga diri. Data diolah dalam bentuk distribusi frekuensi dan dianalisis dalam bentuk data persentase.
b. Analisa Bivariat
   Analisa Bivariat yaitu menganalisa data untuk mengetahui hubungan antara variabel independen (pola asuh orang tua) dengan variabel dependen (harga diri). Analisa bivariat adalah teknis analisa yang dipergunakan untuk menganalisa antara dua variabel. Analisa ini menggunakan uji statistik Chi Square dengan tingkat kepercayaan 95%. Kriteria hubungan variabel ditentukan oleh nilai P value value > α = 0,05, maka H0 diterima (tidak ada hubungan bermakna antara variabel independen dan variabel dependen), jika P value < α = 0,05, maka H0 ditolak (ada hubungan bermakna antara variabel independen dan variabel dependen).
Dengan Rumus :
X2 = ∑ (O-E)2
               E
Keterangan:
X2 =  hasil chi-square
O =  Nilai hasil pengamatan
E =  Nilai ekspektasi atau nilai harapan
3.10 Etika Penelitian
Sebelum penelitian ini dilakukan, peneliti mengajukan surat permohonan untuk mendapat rekomendasi dari Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Muhammadiyah Banjarmasin dan meminta ijin kepada Sekolah Menengah Pertama Negeri 12 Banjarmasin untuk melakukan penelitian. Setelah mendapatkan persetujuan barulah penelitian ini dilakukan dengan menekankan etika. Etika penelitian yang perlu diperhatikan menurut (Hidayat, 2014) antara lain adalah sebagai berikut :
3.10.1 Lembar Persetujuan Menjadi Responden (Informed Concent)
Informed concent merupakan bentuk persetujuan antara peneliti dengan responden penelitian dengan memberikan lembar persetujuan. Informed concent tersebut diberikan sebelum penelitian dilakukan dengan memberikan lembar persetujuan untuk menjadi responden.
         3.10.2 Tanpa Nama (Anonimity)
Masalah etika keperawatan merupakan masalah yang memberikan jaminan dalam penggunaan subjek penelitian dengan cara tidak memberikan atau mencantumkan nama responden pada lembar alat ukur dan hanya menuliskan kode pada lembar pengumpulan data atau hasil penelitian yang akan disajikan.
3.10.3 Kerahasiaan (Confidentiality)
Masalah ini merupakan masalah etika dengan memberikan jaminan kerahasiaan hasil penalitian, baik informasi maupun masalah-masalah lainnya. Semua informasi yang telah dikumpulkan dijamin kerahasiaannya oleh peniliti, hanya kelompok data tertentu yanag akan dilaporkan pada hasil riset.

0 komentar:

Posting Komentar

By :
Free Blog Templates